Minggu, 10 Januari 2010

KH. Abdurrahman Wahid Pahlawan Bangsa

Di penghujung akhir tahun 2009 bangsa ini dikagetkan dengan kepergian salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, yaitu KH. Abd Rahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gusdur. Segenap rakyat Indonesia turut berduka cita atas kepergian bapak dan sekaligus guru bangsa ini. Betapa tidak, Gusdur adalah sosok kharismatik, humoris, kontroversial serta dikenal sebagai tokoh lintas kelompok, etnis, agama dan budaya.
Kepergian bapak bangsa (Gusdur) semakin memperjelas bahwasanya tokoh pluralis dan nasionalis yang dimiliki bangsa ini adalah sosok yang luar biasa, ribuan pelayat dan bahkan jutaan rakyat Indonesia turut berbela sungkawa atas kepergian beliau, dan juga tidak sedikit penghuni bangsa ini merasa kehilangan.

Kepergian Gusdur menghadap sang Ilahi menyisahkan duka mendalam bagi segenap bangsa Indonesia. Bukan hanya ummat Islam (NU) yang merasa kehilangan, melainkan juga dengan agama dan komunitas lain di luar Islam. Hal ini juga dirasakan oleh kalangan minoritas dan mayoritas. Gusdur telah menunaikan takdir kesempurnaan hidupnya dengan menghadapkan jiwa dan raganya kepada Sang Pencipta alam semesta. Kita patut mengikhlaskan kepergian beliau, dan tetap mengenang jasa-jasanya dalam kehidupan kita, semoga bisa menjadi amal jariah di sisi Allah swt.

Gusdur juga dikenal sebagai sosok pejuang demokrasi sejati, pembela kaum minoritas dan tokoh pluralisme sejati bangsa Indonesia. Dan bukan hanya itu, beliau juga dikenal dan disegani oleh tokoh-tokoh dunia dikarenakan kecerdasan dan ketulusannya dalam berjuang. Olehya itu, tidak kurang dari 8 universitas dunia telah memberikan gelar penghargaan Doctor Honoris Causa untuk di sematkan kepada ulama moderat Nahdatul Ulama ini, serta beberapa penghargaan lainnya dari Negara asing.

Gusdur yang wafat di RS. Cipto Mangunkusumo pada tanggal 30 Desember 2009 adalah sosok manusia yang sulit ditemukan duanya, di samping ia seorang ulama besar, ia juga di kenal sebagai ilmuan, budayawan, seniman, nasionalis sejati dan kritukus cerdas. Persahabatan, gagasan, dan gerak beliau mampu menembus dan melampaui batas agama, ideology, politik, strata sosial, ekonomi, warna kulit, budaya, hingga batas negara. Sehingga Gusdur tidak hanya di kenal di Indonesia akan tetapi ia juga di kenal di dunia internasional. Gusdur tidak hanya menjadi tokoh besar bangsa Indonesia akan tetapi ia juga menjadi tokoh besar dunia.
Demikian pula halnya dengan masyarakat lintas agama juga merasa kehilangan atas kepergian Gusdur. Di Makassar, ratusan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnis menghadiri acara zikir dan doa bersama untuk mantan presiden Republik Indonesia yang ke-4 yang diadakan di lapangan Karebosi (Sindo 2 Januari 2009). Hal ini semakin memperjelas sepak terjang Gusdur sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme bangsa yang dicintai oleh rakyat dan tidak hanya boming di tana Jawa akan tetapi juga di kota-kota lainya seperti Makassar dan sekitarnya. Singkatnya kepergian tokoh besar bangsa ini telah meyisahkan duka mendalam bagi seganap kalangan masyarakat Indonesia, sehingga apresiasi negara terhadap kepergian tokoh besar ini diintruksikan oleh presiden SBY untuk mengibarkan benderah setengah tiang selama 7 hari sebagai simbol berkabungnya bangsa Indonesia atas kepergian tokoh nasional yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang juga mantan Presiden Republik Indonesia.

Memang secara biologis dan ideologi Gusdur dilahirkan dari rahim Islam, tetapi bukan berarti Gusdur adalah milik orang-orang Islam saja (NU) akan tetapi, Gusdur adalah milik semua ummat manusia, milik semua agama dan etnis. Gusdur dilahirkan untuk merajut zaman dan hidup dalam pergulatan perbedaan, baik agama, budaya, ideologi maupun politik. Dari keanekaragaman ini ternyata Gusdur mampu memposisikan diri sebagai fasilitator persatuan di bangsa ini, sehingga tidak salah kemudian jikalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara sambutannya pada upacara pemakaman Gusdur di Maqarabah Ponpes Tebuireng Jombang menyatakan bahwa “almarhum Abdurrahman Wahid (Gusdur) adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme” (fajar 1 Januari 2009).

Kiprah perjuangan Gusdur telah menorehkan sejarah besar untuk bangsa ini, dan tentunya akan di kenang sepanjang masa dari generasi ke genarasi bangsa Indonesia. Kemampauan Gusdur dalam mempersatukan semua kalangan dari berbagai latar belakang agama dan etnis yang berbeda-beda adalah merupakan kepribadian beliau yang patut di teladani dan dilanjutkan. Beliau juga di kenal sebagai sosok yang tidak pernah membedah-bedakan kelompok, agama, budaya, etnis dan bahkan politik sekalipun yang di dalamnya sarat dengan pertarungan kepentingan. Bagi Gusdur, nilai-nilai persaudaraan lebih utama dari pada pertiakaiaan, karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang satu dan sama-sama ciptaan Tuhan.

Dalam riwayat hidup Gusdur, beliau adalah sosok manusia yang konsen dalam memperjuangkan pluralisme, sehingga bagi Amin Rais ”Gusdur adalah ikon pluralisme Indonesia” (Kompas,2/1/2010). Anti kekerasan serta mampu menerjemahkan Islam dalam konteks demokrasi, politik, budaya, sosial dan ekonomi. Khusus untuk konsep ke-Islaman Gusdur fokus pada gagasan tentang penyebaran Islam rahmatan lilaalamin sebuah konsep yang menyatakan bahwasanya Islam adalah agama kasih sayang dan agama kedamaian yang tentunnya tidak hanya di prioritaskan kepada ummat Islam, akan tetapi segenap alam semesta raya ini. Dalam konsep ini Islam di maksudkan hadir sebagai agama yang sejuk dan menyejukkan bagi kalangan ummat manusia beserta seluruh isi bumi. Olehnya itu, Gusdur sangat kritis dan tidak pernah sepakat jikalau ada tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Gusdur juga di kenal sebagai pengayom dan pelayan ummat serta negarawan sejati. Sedangkan untuk negara Gusdur melayani dengan membangun demokrasi, menjaga NKRI, memelihara serta membumikan toleransi dan kerukunan dalam masyarakat pluralis dan multikultur. Dan untuk skala dunia, Gusdur membangun relasi yang berdasarkan pada kesederajatan dan hak asasi manusia diantara sesama bangsa. Bukti nyata yang ia telah lakukan adalah sejak ia menjabat sebagai presiden RI bukan hanya mengakomodasi kalangan Thionghoa yang telah lama kehilangan identitasnya akibat dari keganasan rejim orde baru, akan tetapi juga mampu membangun relasi humanis antar negara.

Gusdur Sang Pahlawan
Pahlawan adalah orang yang berjasa kepada suatau bangsa, pahlawan adalah pejuang kemanusiaan yang tanpa pamrih, rela berkorban serta mempunyai kepribadian yang di dalamnya tersimpan keteladanan hidup.
Gusdur adalah sosok pejuang tanpa pamrih, rela berkorban serta mempunyai kepribadian yang luhur dan mampu diterimah oleh semua kalangan. Gusdur di mata dunia juga dikenal sebagai seorang pejuang yang humanis, kritis dan selalu berpihak kepada kepentingan minoritas. Komitmen perjuangan Gusdur tetang nilai kemanusiaan memang selayaknya dan pantas mendapat penghargaan dari dunia internasional. Penganugerahan penghargaan kepada sosok Gusdur adalah suatu keniscayaan bagi seorang putra terbaik bangsa, apalagi mengingat penghargaan memang sudah bertubi-tubi dianugerahkan kepadanya dari bangsa lain. Sekalipun penghargaan berupa bintang jasa, gelar kehormatan yang pernah diterimah selama hidupnya belum cukup untuk membalas jasa-jasa beliau untuk bangsa ini (sindo 1 Januaru 2009).
Gelar kepahlawanan memang patutut untuk diapresiasikan kepada Gusdur, sebab seperuh dari perjalanan hudupnya telah didedikasikan dan diabdikan kepda bangsa ini. Kontribusi Gusdur dalam memperjuangkan demokrasi, HAM dan pluiralisme di negara ini menuai hasil, sekalipun Gusdur harus berhadapan dengan sebuah rezim orde baru. Singkatnya, menurut Amin Rais, kiprah Gusdur dalam perjuangkan serta sumbangsinya dalam kehidupan bangsa tidak perlu diperdebtakan lagi (Fajar, 3 Juni 2010).

Namun yang terpenting dari semua itu, menurut hemat kami disamping mengusulkan Gusdur menjadi pahlawan nasional, penghargaan terbesar adalah kesiapan serta komitmen kita untuk melanjutkan perjuangan Gusdur untuk bangsa ini.
selamat jalan guru bangsa, selamat jalan bapak pluralis, dan tokoh demokrasi bangsa, kami akan tetap megenang jasa-jasamu. Jiwa dan ragamu boleh tiada akan tetapi semangat hidupmu akan tetap hidup dalam hati sanubari kami, dan kami siap melanjutkan perjuangan.

KOMUNITAS KAJANG DI TENGAH PERGULATAN ZAMAN

Adagium teori sosial mengatakan bahwa tak satupun kelompok manusia bisa bertahan hidup tanpa bersentuhan dengan kelompok atau komunitas lain dan sudah menjadi kodrat bagi manusia untuk selalu hidup secara dinamis. Fenomena ini juga dialami oleh masyarakat lokal Kajang, satu komunitas masyarakat yang berada di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Komunitas ini juga dikenal sebagai komunitas yang melepas diri dari dunia luar yang modern.

Interaksi sosial bagi komunitas lokal Kajang memang diketahui sejak dari dulu mereka mengasingkan diri dari komunitas luar. Keteguhan mereka untuk tetap mempertahankan tradisi dan falsafah hidup yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka masih tetap mereka pertahankan sampai hari ini. Akibatnya mereka selalu distigma negatif oleh kalangan masyarakat modern sebagai komunitas yang tidak berperadaban dan tertinggal.

Kehadiran modernisasi telah membawa dampak ketidakberuntungan bagi komunitas lokal Kajang. Modernisasi telah menjadi tolak ukur dalam menilai kebudayaan masyarakat. Budaya lokal kajang dalam kaca mata modernisasi dianggap dan dinilai sebagai budaya rendah, kolot, dan rigit. akibatnya diskriminasi dan marjinalisasi mereka alami dikarenakan masyarakat lokal Kajang dinilai terisolasi dari keramaian dan hiruk-pikuk kemajuan zaman. Apa yang diistilahkan sebagai budaya rendah dan budaya tinggi yang merupakan hasil kontruksi dari modernisasi juga telah berdampak pada komunitas Tana Toa Kajang.

Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh dan cara pandang orang Barat terhadap kebudayaan. Konsep Barat dalam melihat kebudayaan sebagai keberadaban, sementara keberadaban dihubungkan dengan modernitas, maka baginya komunitas yang beradab adalah komunitas yang maju secara modern, sementara konsep budaya Sulawesi selatan lebih mengarah pada adat-istiadat. Dalam peradaban modern adat istiadat dianggap sesuatu yang bersifat kalasik bahkan primitive sehingga cenderung untuk dijauhi, khususnya bagi kaum muda karena dianggap kontra modernisasi. (Ahyar Anwar, 2010)
Seiring dengan perjalanan waktu, sikap hidup yang selama ini di jungjung tinggi oleh komunitas adat Tana Toa Kajang tak luput dari gempuran modernisasi, sejumlah toleransi dan kompromi terhadap masyarakat luar yang modern telah mereka lakukan, interaksi antar komunitas adat dan nonadat tak bisa terelakkan lagi, hal ini terjadi ketika pranata adat istiadat dikerdilkan oleh nasionalisasi struktur pemerintah. Tak satupun wilahyah dan komunitas di Tanah Air ini bebas dari relasi dan intervensi kekuasaan pemerintah termasuk Tana Toa Kajang.

Gurita Kekuasaan dan Kapitalisasi

Dalam kacamata modernisasi, prinsip hidup masyarakat Kajang untuk tetap komitmen dalam hidup kamase-mase (keserderhanaan) dianggap tidak sejalan dengan pola hidup modernisasi (baca: pembangunan materil). Hidup kamase-mase bermula dari seorang pemimpin yang lebih dikenal dengan sebutan Ammatoa, ketika ia sudah dinobatkan sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual Tana Toa Kajang. Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup apa adanya tanpa harus mengejar materi.

Kamase-mase merupakan salah-satu prinsip hidup yang terkandung dalam pasang ri Kajang, sebuah pesan yang sifatnya transendental dan menurut keyakinan masyarakat Tana Toa Kajang datang dari To Rie’ A’ra’na (penguasa alam semesta). Pasang ri Kajang tersebutlah yang menjadi pedoman dan prilaku hidup masyarakat Kajang dan juga didalamya mengajarkan bahwa masyarakat harus lebih bersahaja dari pada pemimpinnya. Kalau misalnya terjadi gagal panen atau musim paceklik, maka orang yang pertama merasakan lapar adalah Ammatoa. Sebaliknya, jika panen berhasil, maka para wargalah yang harus lebih dahulu dipersilahkan untuk menikmatinya, Ammatoa kemudian belakangan.

Sikap kepemimpinan yang dicontohkan oleh komunitas di daerah terpencil tersebut tentunya berbangding terbalik dengan sikap pemimpin masyarakat pada umumnya. Jangankan para pemimipin, wakil rakyat saja tidak sudi hidup jika rakyat lebih bersahaja dari pada dirinya.

Halilintar Lathief (Antropolog dari Universitas Negri Makassar) dalam menaggapi pola hidup masyarakat Kajang mengatakan bahwa “kesederhanaa hidup yang ditampakkan di Tana Toa Kajang adalah sebagai bentuk perlawanan atas kecenderungan manusia modern dalam mengejar materi dan hidup dalam surga hedonistik serta mengesampingkan aspek moral dan etika.(Halilintar Lathief, 2005)

Komentar Halilintar Lathief diatas semakin memperjelas bahwasanya pola kehidupan masyarakat kita telah tersemai dalam kehidupan modernisasi yang kapitalistik. Mencermati hidup kamase-mase untuk mengekang hawa nafsu, jujur, renda hati, tak mau merugikan orang lain dan menjaga keseimbangan alam patut diduga bahwa pengingkaran terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadi penyebab utama terjadinya tindak korupsi di Negara ini.

Di Sulawesi-Selatan peran-peran construkted Negara yang berkolaborasi dengan kapitalis ini nampak dalam berbagai program kebijakan “civilisation” untuk komunitas lokal. Proses ini dilakukan terutama lewat program pendidikan dan program agama. Program ini sudah berjalan cukup lama. Komunitas lokal yang ada di beberapa tempat tersebut di modernisasi, disekolahkan dan di ajarakan tentang cara-cara beragama yang “benar” dalam lingkup agama resmi.

Di sisi lain, kapitalisme juga turut memperkeruh budaya Kajang. Kapitalisme yang selalu berorientasi untuk mencari keuntungan telah merusak tatanan alam dan tradisi yang selama ini dianggap sakral oleh komunitas Tana Toa Kajang. Kapitalisasi kebudayaan dalam bentuk wisata menjadikan upacara-upacara adat Tana Toa Kajang ikut terbawa arus dalam pola hidup modern, sehingga muncul anggapan bahwa budaya Kajang tidak lagi murni sebagai budaya lokal setempat karena telah dirasuki oleh budaya luar. kemudian budaya kajang juga telah diperjual belikan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan wisatawan yang berkunjung ke Tana Toa Kajang.

Hal tersebut kemudian dibantah oleh Galla Sapa yang ditugasi untuk mengurus prosesi upacara adat di Tana Toa Kajang, beliau mengatakan bahwa “kami merayakan upacara adat bukan untuk para wisatawan yang berkungjung ke Kajang, sebab upacara adat tidak bergantung pada agenda kunjungan wisata”. hal ini sejalan dengan penegasan Ammatoa bahwa kehidupan mereka bukan untuk dijual akan tetapi untuk dipahami, sesuai dengan pernyataannya bahwa “Kehidupan kami hanya butuh untuk dipahami dan dihargai, tak perlu materi sebagai imbalannya (komersialisasi)”.

Dampak dari laju modernisasi yang sarat dengan muatan kapitalisme dan telah berkolaborasi dengan kekuasaan menjadi gurita tersendiri untuk tatanan kearifan kebudayaan dan spiritual di Tana Toa Kajang. Hal tersebut semakin diperparah ketika cara pandang pemerintah terhadap budaya lokal masih terkontaminasi oleh nalar devlopmentalisme. Bagunan megah masih lebih utama ketimbang harus membangun budaya lokal serta mengorbitakan kearifan lokal yang terkandung didalamnya.

Globalisasi atau modernisasi adalah merupakan arus besar yang telah menghantam tatanan nilai-nilai kebudayaan kita. Sehingga, dalam konteks masyarakat Kajang misalanya, kearifan local yang juga merupakan kebanggaan mereka sudah hampir diambang kepunahan akibat dari proses komersialisasi budaya untuk memenuhi kebutuhan nafsu hedonis penguasa. Hilangnya karakter, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah merupakan bukti nyata bahwasanya tatanan nilai-nilai kebudayaan kita telah tergusur oleh budaya global. Hal tersebut juga berdampak pada hilangnya originalitas makna kebudayaan nusantara.

Dalam dunia global, Kebudayaan local hanya dilestarikan oleh pemerintah tapi dalam bentuk material dan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan wisatawan asing. dan dalam tatanan kehidupan tersebutlah, sehingga komunitas Kajang didekati oleh komunitas luar, khususnya kalangan wisatawan karena budaya mereka dianggap sebagai sesuatu yang unik dan menarik untuk dikomersialkan dan juga bagi kalangan pemerintah, keunikan budaya Kajang dan kehidupannya bisa menjadi sumber dan aset APBD. Inilah sekelumit gambaran hidup komunitas Kajang ditengan arus pergerakan zaman.