Selasa, 01 Desember 2009

NEGARA DAN KEANEKARAGAMAN AGAMA DAN BUDAYA Oleh: Suaib

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah merupakan simbol keanekaragaman bangsa ini, TMII merupakan gambaran kehidupan bangsa Indonesia yang di dalamnya di diami oleh berbagai macam suku, agama dan budaya yang berbeda-beda. Atas dasar ini pulahlah sehingga Negara Indonesia di kenal sebagai Negara multikultur dan keanekaragaman ini dicoba diabadikan oleh rezim Orde Baru (Orba) melalui sebuah bangunan yang namaya Taman Mini Indonesia Indah.

Taman Mini Indonesia Indah merupakan tempat dimana keanekaragaman dipertemukan dalam satu wadah kesatuan yaitu bangsa Indonesia dan juga TMII merupakan refresentasi akan realitas bangsa Indonesia yang multikultur. Namun disatu sisi, bangunan TMII hanyalah merupakan simbol yang tidak terkoneksi dengan realitas kehidupan bangsa ini, TMII telah kehilangan nilai-nilai subtansinya. Hal ini disebabkan karena keanekaragaman di masa Orde baru tidak perna lepas dari kepentingan politik atau kekuasaan.
Rezim Orba khawatir dengan adanya keanekaragaman karna bisa mengarah pada perbedaan dan integrasi bangsa. Sehingga di masa Orba Negara menentukan sebuah kebijakan untuk menyeragamkan perbedaan, dan danpak yang di timbulakan dari kebijakan ini adalah malapetaka bagi mereka yang mencoba menentang kebijakan tersebut dan akan ditindak tegas dengan pemenjarahan dan penghilangan mata pencaharian,
Padahal Keberagaman etnis, suku, Agama dan golongan di Negara kita adalah merupakan potensi dan sekaligus sebagai kekayaan bangsa yang senantiasa harus di jaga dan dipertahankan. Negara Indonesia dibangun diatas landasan pluralitas dan multikultural kehidupan masyarakatnya, sehingga tidak salah jika sekiranya dikatakan bahwa keanekaragaman merupakan cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Wajah TMII di zaman Orba hanyalah sekedar bangunan “fiktif” yang tidak mampu mengambarkan keadaan yang sebenarnya akan realitas bangsa indoneisia yang multikultur, TMII tidak mencermingkan keanekaragaman ia hanyalah sekedar artepak semata mirip dengan peninggalan benda-benda kuno.
Dalam perjalanannya, Kenekaragaman bangsa ini yang direfresentasikan melalui sebuah bangunan bersejarah telah dilumuri oleh berbagai macam masalah, salah satu diantaranya adalah terjadinya konflik sara yang tidak berkesudahan di Negara ini. Pada dasarnya, Menurut Zuly Qodri konflik terjadi bukan dikarenakan perbedaan sara, akan tetapi Negaralah yang kurang tanggap dalam merespon persoalan perbedaan sara tersebut. (Kompas 12 Nov 2009)
Negara, Diskriminatif Dan Ketidak Adilan
Akar persoalan konflik yang terjadi di Negara ini adalah persoalan diskriminasi yang berbanding lurus dengan ketidak adilan. Persoalan diskriminasi dan ketidakadilan telah diketahui bahwasanya dimana-mana persoalan tersebut selalu melahirkan perlawanan, kritikan dan pemberontakan. Dan hal ini tentunya bukalah persoalan baru dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Sejak dari dahulu hingga sekarang diskriminasi dan ketidak adilan kerap menjadi penyebab utama akan lahirnya konflik.
Menurut Zuly Qodir, daerah-daerah konflik, dari segi pembagunan sangat jauh tertinggal dibanding dengan daerah yang ada di Jawa. Di Papua misalnya, jalanan tidak terbangun dengan baik, demikian pula hal yang sama terjadi di Ambon dan Ternate. Dan bukan hanya itu persoalan pendidikan sebagai sarana pembagunan sumberdaya manusia juga telah menjadi fenomena tersendiri untuk daerah tertinggal. Kualitas pendidikan di daerah-daerah terpencil seperti kepulauan juga sangat jauh tertinggal di banding dengan daerah lainya, dan hal tersebut semakin di perparah dengan hadirnya Ujian Nasional (UN) yang standar kelulusanya ditentukan secara seragam oleh Negara.
Fenomena ini kemudian menimbulkan kekecewaan dan berujung pada keinginan untuk merdeka atau memisahkan diri dari NKRI, hal ini disebabkan karena keadilan tidak terbagun secra menyeluruh. Negara atau pemertintah dikriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenanya. Justru perhatian pemerintah hanya tertuju pada komunitas dan kelompok tertentu.
Etnis dan Agama
Rakyat Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan dan keaanekaragaman. Sejak dari dulu persoalan ini sudah dibicarakan dan bahkan telah teraplikasi dalam dinamika kehidupan manusia Indonesia dibuktikan dengan dengan hadirnya fhilosofi bhineka tunggal ika, yang kemudian menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan berNegara, yang darinya mampu mengayomi perbedaan etnis dan Agama.
Etnis dan Agama adalah dua hal yang mudah meyulutkan api konflik dalam masyrakat hotrogen. Agama berkaitan dengan keyakinan atau keimanan sedangkan etnis berkaitan dengan identitas kesukuan dalam masyarakat. Etnis dan Agama dimanapun akan melakukan tindakan frontal jika ia merasa dihianati, dilecehkan dan dimarjinalisasikan, olehnya itu prisip keadilan harus benar-benar terwujud secarah menyeluruh untuk kalangan bangsa ini. Keadilan harus berjalan pada koridor yang sebenarnya tanpa harus tersekat pada persoalan Agama dan etnis.
Dalam urusan Agama, Negara tidak boleh terlalu banyak campur tangan. Biarkan urusan Agama itu diserahkan kepada lembaga masing-masing Agama. Persoalan sesat atau tidak sesat, menurut hemat kami itu bukan urusan Negara, fungsi Negara hanya sebagai fasilitator perdamaian dan pembagunan kehidupan kesejateraan ummat beragama.
Negara harus mampu menanamkan kesadaran akan pentingnya kedewasaan dalam mengelolah perbedaan. Kedewasaan dalam artian mengedepankan sikap kebijaksanaan dan membangun ruang dialog, bahwasanya perbedaan bukanlah skenario manusia apalagi Negara, akan tetapi perbedaan adalah skenario Tuhan yang sifatnya sunnatullah yang sejatinya diterimah secara lapang. Dan biarkan kenaekaragaman itu muncul, karena kenekaragaman tidak akan menjadi masalah jika di dalamnya tidak terdapat kepentingan, termasuk kepentingan politik.
Dalam masyarakat demokrasi perbedaan adalah sesuatu hal yang lumrah. Keinginan untuk bersatu tidak ada masalah dan keinginan untuk berbeda juga tidak ada masalah, Terbukanya ruang “kebebasan” kepada segenap kalangan masyarakat adalah merupakan esensi dari nilai-nilai demokrasi.
Perbedaan adalah sesuatu hal yang sangat fitrawi, perbedaaan akan tetap diakomodir selama perbedaan itu masih tetap mengedapankan sikap santun dan perhargaan akan adanya perbedaan di luar dirinya dan kebudayaanya.
Campur Tangan Negara
Fenomena dan cara pandang kekuasaan dalam melihat perbedaan serta keanekaragaman sarat dengan muatan parsial dan diskriminatif. Dalam Persoalan kebudayaan misalnya, antara kebuadayaan yang beradab dan kebudayaan yang tidak beradab selalu selalu menjadi tolak ukur perbandingan dalam kekuasaan, dan tidak jarang dengan perbandingan itu melahirkan diskriminasi dan marjinalisasi kelompok dan komunitas tertentu, khususnya komunitas lokal seperti masyarakat Daya, Samin dan Kajang misalanya selalu di stigma sebagai komunitas yang tidak berperadaban di karenakan mereka tidak dekat dengan kekuasaan dan terisolasi dari keramaian dan hiruk-pikuk kemajuan zaman. Padahal kebudayaan itu hadir dalam setiap komunitas sarat dengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri yang tentunya mempunyai sistem dan tata nilai dalam memaknai sisi kehidupan mereka sendiri.
Dalam persolan Agama, khususnya Agama yang di pahami oleh komunitas lokal, Negara juga kerap menjdi biang kerok masalah, dengan adanya perbedaan antara Agama resmi dan Agama yang tidak resmi. Sehingga komunitas lokal selalu distigma sesat oleh Negara dikarernakan dia tidak diakui oleh Negara, padahal yang layak untuk menilai dan mengakui sebuah keyakinan adalah Tuhan bukan Negara.
Negara tidak punya hak sedikitpun untuk menghakimi paham mereka. Logikanya adalah bagaimana mungkin Negara yang merupakan kontruksi manusia mampu mengurus dan mengatur urusan Tuhan yang sudah sempurna? bukankah Agama adalah urusan Tuhan yang harus di taati oleh segenap ummat beragama? Ketika Negara mencampuri keyakinan (Agama) sama halnya Negara telah “merebut” peran Tuhan, dan bisa jadi Negara telah mengantikan posisi Tuhan yang sebenarnya.
Pada akhirnya Negara adalah tempat bernaung bagi segenap warganya dalam menjalankan keyakinan, beribadah sesuai dengan kepercayaannya tanpa harus ada ganguan dari luar apalagi dari Negara.