Selasa, 26 November 2013

Mempertanyakan Wacana NKRI



Fenomena mutakhir kajian ilmu sosial tidak hanya fokus pada wacana kebangsaan dengan  isu-isu perjuangan kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi bangsa Asing. Melainkan juga bergejolaknya isu-isu kemerdekaan yang lahir dari dalam Negeri. Isu ini tidak hanya dalam bentuk perjuangan akomodasi identitas, melainkan juga melebar menjadi isu politik dengan tututan kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi sesama anak bangsa.

Organisasi Gerakan Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa menjadi salah satu contoh dari semua itu, dan besar kemungkinan akan terus berlanjut. Sebab fenomena ini tidak hanya dilatar belakangi oleh persoalan diskriminasi, kesenjangan ekonomi dan pembangunan yang tidak merata, melainkan juga karena identitas mereka seringkali tersakiti, entah dalam bentuk isu Ras dan wilayah.  

Olehnya itu, wacana tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baginya tidaklah penting, karena selain tidak bisa menjawab kebutuhan hidup mereka, juga tidak lebih hanya sekedar pelipur lara di tegah pembiaran keserakahan sekolompok orang yang terkadang mengatasnamakan Negara untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan sama sekali tidak memberi dampak keberuntungan bagi Daerahnya. 

Dalam konteks ini, wacana NKRI menjadi menarik untuk dipertanyakan kembali, sebab boleh jadi itu hanya sekedar wacana yang sarat dengan “muatan politik” dan segaja dipopulerkan oleh sebagian kalangan intelektual dan kaum elit bangsa ini untuk mendukung pelanggengan eksploitasi kekayaan alam di daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya.

Demikian pula, selogan fainalnya NKRI boleh jadi hanya sekedar isu popular kaum elit, bukan isu yang lahir dari rakyat bangsa ini. Atau dalam artian, isu NKRI dijadikan sebagai tameng untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekploitasi ekonomi di wilayah tertentu demi untuk mensuplai kepentingan korporasi global dan wilayah lain dibangsa ini.

Apalagi dalam faktanya, mamfaat dari persatuan bangsa dalam bingkai NKRI tidak pernah berhasil menjadi sebuah kenyataan. Justru yang terjadi adalah atas nama Negara dan bangsa sebahagaian penguasa lebih mementingkan pelayanan kepada bangsa Asing ketimbang melayani rakyatnya sendiri. Sehingga nyaris kita temukan sebagian warga Negara kita menjadi kuli/pelayan di Negeri sendiri.

Selain itu, beberapa pengalaman yang dapat kita jadikan sebagai argumen adalah isu ketegangan antara pusat dan daerah yang terpusat pada zona perebutan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik. Belum lagi persoalan pengucuran anggaran dari pusat yang tidak didasarkan pada kebutuhan daerah, melainkan atas dasar kemauan pemerintah Pusat.

Fenomena ini jugalah yang terkadang mempertajam “relasi konflik” antara pusat dan daerah serta menjadi pintu masuk kelompok tertentu untuk melakukan provokasi dengan isu-isu eksploitasi dan ketidak-adilan pusat ke daerah. Sehingga atas dasar itu isu kemerdekaan pun menjadi isu yang menarik untuk dihembuskan, khususnya di daerah-daerah yang kaya akan kekayaan alamnya.

Meski keduanya, isu NKRI dan pemisahan darinya tidak meyakinkan karena sama-sama lahir dari isu kaum elit yang sedang bertikai, tapi paling tidak sudah nampak sebuah gejalah bahwasanya betapa pemerataan pembagunan dan ketidak-adilan di bangsa ini bisa menjadi penyebab bubarnya NKRI. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk memikirkan jalan keluar dari semua persoalan kebangsaan tersebut.

Olehnya itu, selain pendidikan sebagai salah satu pilar dan strategi persatuan bangsa, model dan sistem pembangunan harus diwujudkan dan didasarkan pada kebutuhan tiap-tiap wilayah. Karena NKRI hanya bisa berdiri secara utuh jika keadilan dijadikan sebagai fondasi kehidupan bangsa, tentunya dengan penerapan sistem pembangunan tanpa diskriminasi.  





Islam Indonesia



Islam tidak hanya dipahami dan diyakini sebagai agama yang benar bagi penganutnya, melainkan juga diyakini sebagai agama universal yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan serta berlaku untuk semua zaman dan konteks kehidupan sosial manusia.
Meski demikian, dalam faktanya, pemahaman tentang universalisme Islam ini tidaklah tunggal, melainkan sangat beragam. Dan bahkan ada sebagian kelompok Islam merasa diri paling benar dalam memahami universalime Islam tersebut.  Sehingga mereka pun merasa berkewajiban untuk menegakkan Islam secara kaffah.