Fenomena mutakhir kajian ilmu sosial
tidak hanya fokus pada wacana kebangsaan dengan
isu-isu perjuangan kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi bangsa
Asing. Melainkan juga bergejolaknya isu-isu kemerdekaan yang lahir dari dalam Negeri.
Isu ini tidak hanya dalam bentuk perjuangan akomodasi identitas, melainkan juga
melebar menjadi isu politik dengan tututan kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi
sesama anak bangsa.
Organisasi Gerakan Papua Merdeka (OPM)
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa menjadi salah satu contoh dari semua itu, dan
besar kemungkinan akan terus berlanjut. Sebab fenomena ini tidak hanya dilatar
belakangi oleh persoalan diskriminasi, kesenjangan ekonomi dan pembangunan yang
tidak merata, melainkan juga karena identitas mereka seringkali tersakiti,
entah dalam bentuk isu Ras dan wilayah.
Olehnya itu, wacana tentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baginya tidaklah penting, karena selain
tidak bisa menjawab kebutuhan hidup mereka, juga tidak lebih hanya sekedar
pelipur lara di tegah pembiaran keserakahan sekolompok orang yang terkadang
mengatasnamakan Negara untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan sama sekali
tidak memberi dampak keberuntungan bagi Daerahnya.
Dalam konteks ini, wacana NKRI menjadi
menarik untuk dipertanyakan kembali, sebab boleh jadi itu hanya sekedar wacana yang
sarat dengan “muatan politik” dan segaja dipopulerkan oleh sebagian kalangan
intelektual dan kaum elit bangsa ini untuk mendukung pelanggengan eksploitasi
kekayaan alam di daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya.
Demikian pula, selogan fainalnya NKRI
boleh jadi hanya sekedar isu popular kaum elit, bukan isu yang lahir dari rakyat
bangsa ini. Atau dalam artian, isu NKRI dijadikan sebagai tameng untuk melanggengkan
kekuasaan politik dan ekploitasi ekonomi di wilayah tertentu demi untuk
mensuplai kepentingan korporasi global dan wilayah lain dibangsa ini.
Apalagi dalam faktanya, mamfaat dari
persatuan bangsa dalam bingkai NKRI tidak pernah berhasil menjadi sebuah
kenyataan. Justru yang terjadi adalah atas nama Negara dan bangsa sebahagaian
penguasa lebih mementingkan pelayanan kepada bangsa Asing ketimbang melayani rakyatnya
sendiri. Sehingga nyaris kita temukan sebagian warga Negara kita menjadi kuli/pelayan
di Negeri sendiri.
Selain itu, beberapa pengalaman yang
dapat kita jadikan sebagai argumen adalah isu ketegangan antara pusat dan daerah
yang terpusat pada zona perebutan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan politik. Belum
lagi persoalan pengucuran anggaran dari pusat yang tidak didasarkan pada
kebutuhan daerah, melainkan atas dasar kemauan pemerintah Pusat.
Fenomena ini jugalah yang terkadang mempertajam
“relasi konflik” antara pusat dan daerah serta menjadi pintu masuk kelompok tertentu
untuk melakukan provokasi dengan isu-isu eksploitasi dan ketidak-adilan pusat
ke daerah. Sehingga atas dasar itu isu kemerdekaan pun menjadi isu yang menarik
untuk dihembuskan, khususnya di daerah-daerah yang kaya akan kekayaan alamnya.
Meski keduanya, isu NKRI dan pemisahan
darinya tidak meyakinkan karena sama-sama lahir dari isu kaum elit yang sedang
bertikai, tapi paling tidak sudah nampak sebuah gejalah bahwasanya betapa pemerataan
pembagunan dan ketidak-adilan di bangsa ini bisa menjadi penyebab bubarnya
NKRI. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk memikirkan
jalan keluar dari semua persoalan kebangsaan tersebut.
Olehnya itu, selain pendidikan
sebagai salah satu pilar dan strategi persatuan bangsa, model dan sistem
pembangunan harus diwujudkan dan didasarkan pada kebutuhan tiap-tiap wilayah.
Karena NKRI hanya bisa berdiri secara utuh jika keadilan dijadikan sebagai
fondasi kehidupan bangsa, tentunya dengan penerapan sistem pembangunan tanpa
diskriminasi.