Minggu, 15 September 2013

Al-Quran dan Peradaban Toleransi; Catatan Untuk Peringatan Nuzulu Al-Quran




Bulan Ramadan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)



Ayat tersebut diatas menjadi pijakan teologis akan keagungan bulan suci Ramadan karena di dalamnya Allah Swt menurungkan kitab suci-Nya untuk dijadikan sebagai petunjuk dan penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini, dan atas dasar itu pula sebahagian ulama mengistilahkan Ramadan sebagai “bulan kitab suci”.

Menyelamatkan Pasar Tradisional



Pasar tradisional merupakan tempat berkumpulnya entrepreneur dan calon entrepreneur lokal yang pada umumnya menggunakan modal sendiri dalam memulai usahanya. Pasar tradisional tidak hanya menjadi simbol ekonomi bangsa, melainkan juga menjadi sumbuh ekonomi yang berbasis kerakyatan. Sampai saat ini, pasar tradisional masih menjadi wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi berskala menengah kecil dan mikro.

 Olehnya itu, pasar tradisional sering juga diistilahkan sebagai pasar rakyat, tempat atau wadah untuk mendapatkan berbagai keperluan dan kebutuhan pokok rumah tangga bagi mayoritas penduduk Indonesia serta menjadi tolok ukur dan indikator nasional dalam kaitannya dengan pergerakan tingkat kestabilan harga atau inflasi domestik.

Berdasarkan data kementerian perdangangan Republik Indonesia, pasar tradisional di Indonesia lebih dari 13.650 pasar dengan jumlah pedagang lebih dari 12.625.000 orang (Soejadi, 2013). Pasar rakyat inilah yang menjadi basis perekonomian masyarakat lokal yang tidak hanya dijalankan untuk menghidupkan perekonomian suatu wilayah, melainkan juga ikut memudahkan akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga dalam bentuk eceran yang dengan mudah dijangkau oleh semua kalangan.           

Selain itu, dalam pasar tradisional juga masih ditemukan interaksi sosial yang cukup kuat. Sebuah praktek hidup atau interaksi sosial jual beli yang tidak ditemukan dalam pasar moderen seperti supermarket, mini market, hypermarket dan lain-lain, karena penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langusung, melainkan pembeli hanya melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode) serta berada dalam bangunan dan pelayanan yang dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga.

Persaingan
Menjamurnya pasar moderen dewasa ini berkaitan dengan konsekuensi dari berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, baik dari gaya hidup, pola konsumsi serta aktifitas belanja. Ekspansi pasar moderen diberbagai wilayah bangsa ini tentunya tidak hanya membuat sistem perdagangan atau perekonomian masyarakat Indonesia semakin moderen, melainkan juga telah menyisakan berbagai persoalan, khususnya bagi pedagang lokal (tradisional).

Fakta inipun menjadi sebuah paradoks karena kemoderenan perdangan tersebut tidak sebanding dengan tingkat kemajuan ekonomi pasar rakyat. Malah ekspansi pasar moderen menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan minat belanja bagi sebahagian masyarakat di pasar-pasar tradisional. Sehingga omzet pedagan lokal pun mengalami penurunan drastis.

Apalagi saat fasilitas dan kenyamanan berbelanja di pasar moderen jauh lebih baik dari pasar tradisional. Pembeli mereka tidak hanya dimanjakan dengan pelayanan yang ramah, sejuk dan nyaman, akan tetapi kebersihan, keamanan serta harga yang terjangkau (murah) bagi semua kalangan juga menjadi bahagian dari  strategi dangang mereka. Sehingga pembeli pun merasa nyaman dan ketagihan untuk berbelanja di pasar moderen seperti ini.
           
Selain itu, persaingan yang tidak imbang serta sistem regulasi yang tidak berpihak kepada pedagan lokal tidak hanya megakibatkan pasar rakyat semakin tersudut, melainkan juga bisa hilang dari ruang kehidupan masyarakat. Fakta bahwa terjadi pergeseran preferensi konsumen dalam memilih lokasi berbelanja untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dapat dilihat dari hasil survey AC Nielson, dimana ditemukan bahwa Tahun 2003, share of trade pasar tradisional sebesar 74,0 persen, dan pada tahun 2009 menurun menjadi 63,5 persen. Sedangkan minimarket share of trade-nya mengalami peningkatan, dari 5,0 persen pada tahun 2003 menjadi 15,4 persen pada tahun 2009.
           
Butuh Kepedulian
Keberadaan pasar tradisional dari waktu ke waktu semakin tergerus oleh arus persaingan dengan pasar modern. Dari kesemua itu dibutuhkan kepedulian untuk melihat sejauh mana dampak yang ditimbulkan  pasar moderen terhadap pasar tradisional kita. Dan tentunya ini menjadi tanggung jawab bagi semua pihak, khususnya Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota terkait masa depan pasar tradisional yang ada bangsa ini, karena tidak menutup kemungkinan, pasar tradisional ini akan punah jika tidak diberdayakan dengan baik.

Kepunahan pasar tradisional adalah merupakan kepunahan ekonomi rakyat, sebab pasar tradisional adalah merupakan aset dan sekaligus menjadi sumbuh ekonomi rakyat, sehingga perlu untuk diselamatkan. Olehnya itu, sekaitan dengan program pemberdayaan pasar rakyat yang diprogramkan oleh Kementrian Perdangan RI untuk menjadikan pasar tradisional sebagai pasar percontohan patut untuk diapresiasi, sebab program tersebut berangkat dari upaya untuk meberdayakan pasar rakyat agar bisa bangkit, mampu berbenah serta memposisikan diri ditegah gempuran pasar-pasar moderen.

Manariknya lagi, orientasi program tersebut tidak hanya berangkat dan fokus pada perbaikan fisik pasar semata, melainkan juga berorientasi pada pemberdayaan sumber daya manusia pedagang yang berbasis kepada kearifan lokalnya, sehingga yang muncul kepermukaan adalah pasar rakyat yang modern dan humanis tanpa tercerabut dari identitas kebudayaan lokalnya.


Membumikan Pradigma Pendidikan Pesantren


Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di bangsa ini, ia hadir sejak ratusan tahun silam, tumbuh dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut Zamakhsari, kata tersebut berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara istilah pondok berasal dari istilah fundug yang dalam bahasa arab berarti hotel atau asrama.

Jenis Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki



Opini Tribun Timur 25 Desember 2012

Jenis Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki
Oleh; Suaib Amin Prawono

Dewasa ini, fenomena kekerasan seperti diskiriminasi, eksploitasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan kerap kali terjadi  dalam  berbagai aspek kehidupan sosial, baik dari segi  ekonomi, politik, agama dan budaya.  Fenomena tersebut pun semakin memperkecil ruang gerak kaum perempuan dalam dunia publik. Salah satu penyebabnya adalah kerana dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir serta cara pandang sebahagian masyarakat kita.

Budaya patriarki adalah sebuah cara pandang yang sifatnya klasik dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan. Akibatnya, lahir pola relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial dan bahkan sama sekali tidak membawa dampak keberuntungan bagi kehidupan kaum perempuan, sebab budaya patriarki ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melaikan juga telah berhasil mengkontruksi sebuah kebijakan yang mana kebijakan tersebut berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan.

Hal ini kita bisa lihat secara jelas dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU ini telah melahirkan legitimasi khusus bagi kaum laki-laki dimana laki-laki  diposisikan sebagai kepala rumah tangga, sementara perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga. Penghargaan terhadap eksisitensi kaum perempuan baik dari segi kebijakan maupun ekonomi semakin menemukan ketidak-jelasannya saat sistem ekonomi kapitalis menguasai dunia usaha.

Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal atau perusahaan mempekerjakan buruh murah yang sebahagian besar  adalah kaum perempuan. Buruh perempuan digaji lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung jawab terkait persoalan hak cuti bagi buruh perempuan.

Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebab perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah publik.

Selain itu, meningkatnaya anggka buta huruf bagi kaum perempuan, kematian ibu saat melahirkan, perdagangan kaum perempuan dan pekerja rumah tangga hampir tidak pernah mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah dan para penentu kebijakan bangsa ini.  Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama; tidak terbukanya ruang partisipasi serta minimnya keterlibatan kaum perempuan dalam hal pengambilan keputusan sehingga berakibat pada lahirnya sebuah kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan hidup mereka.
Kedua; adanya norma-norma budaya dan tafsir agama yang diskriminatif, dimana perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin menjadi salah satu penyebab sulitnya kaum perempuan mengambil peran dan posisi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan politik terkait dengan kepentingan dan kemajuan kaum perempuan dalam ranah sosial.
  
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dan hal ini kemudian dikontruksi dalam pakem budaya patriarki sehingga melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Padahal perbedaan jenis kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah merupakan kodrat Ilahiah yang tidak mungking bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapapun.

Dalam konsep analisis gender dijelaskan bahwa perbedaan tentang sifat, peran, posisi serta tanggung jawab perempaun dan laki-laki yang didasarkan pada jenis kelamin adalah sesuatu yang diciptakan oleh masayarakat dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia.

Olehnya itu, sangat naif  kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidak-adilan bagi kaum perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan berarti peran laki-laki dan perempuan dalam rana sosial harus pula dibeda-bedakan.

Penjajahan Belum Berakhir

Harian Fajar, 17 Agustus 2013

Penjajahan Belum Berakhir


Gerakan kolonialisme di bangsa ini berawal dari hasrat pemenuhan kebutuhan rempah-rempah yang saat itu mengalami kesulitan akibat jalur penutupan sutra oleh pasukan Islam saat perang salib (kapitalisme Awal) sedang berkecamuk serta intesnya bangsa portugis dan Spayol melakukan penjelajahan samudra.

Selain itu, kedatangan bangsa asing seperti Portugis, Spanyol dan Belanda ke Nunsantara merupakan bahagian dari persaingan dagang dan politik  antar Negara Eropa, salah satunya adalah persaingan antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bahagian dan Eropa sebagai titik sentral, sementara “bahagian Timur” dimiliki oleh Portugis dan “sebelah Barat” diserahkan kepada Spanyol.