Keanekaragaman
yang ada di bangsa ini tentunya tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan
telah menjadi identitas kebangsaan yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum
bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Bhineka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh salah seorang
philosof lokal Nusantara, Mpu Tantular pada abad XIV telah
menjadi simbol dan sekaligus menjadi semboyan persatuan bangsa ini mulai dari
Sabang sampai Merauke.
Konsep
ini lahir dari sebuah fakta dimana kehidupan sosial masyarakat Indonesia sarat
dengan keanekaragaman, baik agama, ideologi, politik, budaya dan ras yang tentunya
keberadaannya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Selain itu, sembonyan Bhineka
Tunggal Ika sekaligus menjadi bukti bahwasanya kepedulian terhadap keanekaragaman dan
pentingnya persatuan dari berbagai latar belakang perbedaan telah menjadi
kesadaran hidup bagi sebahagaian masyarakat Indonesia sejak dari dulu.
Kesadaran
ini terkontruksi dalam bentuk prilaku toleransi dengan melihat perbedaan bukan
hanya sebagai bawaan hidup manusia, melainkan sebuah kekayaan yang harus
dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan sosial masyarakat demi
memperkaya pemahaman dan keutuhan jalinan persaudaraan diantara sesama, sehingga
dengan itu pula kita dapat berkesimpulan bahwasanya masyarakat Indonesia sejak
dari dulu telah terbiasa dengan keanekaragaman.
Olehnya
itu, sangat disayangkan jika belakangan ini, dominasi berbagai kepentingan dan
klaim kebenaran turut campur dalam megelolah keanekaragaman tersebut dan mengakibatkan
kehidupan sosial bangsa ini semakin terkotak-kotak serta semakin terdegradasi akibat
letupan konflik sosial dan berbagai ancaman kekerasan (baca;teror) yang terjadi
diberbagai wilayah bangsa kita saat ini. Fenomena tersebut pun semakin
memperjelas bahwasanya mengelolah keanekaragaman atau pluralitas dan
multikulturalisme bangsa bukanlah perkara mudah, apalagi di tegah maraknya fundamentalisasi
agama dan indentitas.
Meski
demikian, patut pula untuk disyukuri karena bangsa ini masih bisa berdiri kokoh
dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya, meskipun badai kekerasan dalam
bentuk teror dan konflik komunal, datang silih berganti menerpa kehidupan
sosial masyarakat bangsa ini.
Itegrasi Bangsa
Keanekaragaman
yang ada di bangsa ini bisa menjadi sumber harmoni, namun pada sisi yang lain
juga bisa menjadi sumber konflik dan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya,
sangat penting untuk mengelolah keanekaragaman tersebut melalui pendekatan
kebudayaan dan sejarah kebangsaan kita. sebab struktur dasar masyarakat bangsa
ini adalah apa yang lahir dari rahim budaya dan tradisinya sendiri, bukan apa yang datang dari luar
(Barat dan Timur Tengah).
Terkait hal ini, menarik untuk mengutip pendapat Sri Sultan Hamengku Buwono X, bahwasanya Pluralisme adalah kesadaran untuk menghargai agama dan perbedaan yang ada pada orang lain dengan tetap mampu membedakan antara konsep pluralisme ala Barat dan Indonesia. Bhineka tunggal ika adalah merupakan gagasan pluralisme dan multikulturalisme ala Indonesia yang harus diwujudkan sebagai strategi integrasi kebangsaan untuk mengakomodir semua lapisan perbedaan yang ada. (Sri Sultan Hamengkubuwono, 2013).
Meski demikian, bukan berarti gagasan yang dilontarkan Sri Sultan tersebut adalah bentuk eklusivisme pemikiran, dengan menafikan gagasan yang datang dari luar, melainkan sebuah upaya untuk menyelami makna kearifan lokal bangsa dengan mencoba mendialogkannya dengan berbagai gagasan yang sedang berkembang tanpa harus tercerabut dari akar dan falsafah kebudayaan bangsa ini, sebab menjadi seorang pluralis yang toleran tidak mesti harus kehilangan identitas.
Sehingga dengan demikian, wacana pluralisme dalam konteks Indonesia bukan lagi sebagai wacana baru, atau cara pandang dari hasil gagasan pluralisme ala Barat, melainkan betul-betul lahir dari hasil pengalaman dan reflesksi kehidupan sosial masyarakat Nusantara.
Toleransi
Perbedaan tidak
hanya terjadi karena foktor biologis, melainkan juga karena faktor Teologis,
dimana perbedaan adalah sebuah keniscayaan Ilahiah yang tidak mungkin bisa
dipungkiri keberadaanya. Perbedaan agama, budaya dan identitas adalah sebuah skenario
dan keniscayaan hidup yang berasal dari Tuhan untuk manusia, dan akan selamanya
ada seiring dengan dinamika kehidupan ummat manusia di dunia ini.
Mengelolah
keanekaragamana tersebut bukan perkara
mudah, apalagi jika hal tersebut sudah terkait pada persoalan politik,
identitas dan akidah. Oleh karenanya, dibutuhkan kerja keras dan kesabaran
dalam memperjuangkan pluralisme. Pluralisme adalah upaya untuk memperindah
keragaman melalui sikap toleransi, bukan untuk memperkeruh perbedaan apalagi
menyelesaikan perbedaan dengan tindakan refresif dan radikal.
Dalam konteks
Indonesia, toleransi menjadi kata kunci pengelolaan keanekaragaman tersebut. Toleransi
harus lahir dari kesadaran hidup tiap manusia untuk menghargai perbedaan, hidup
berdampingan secara damai serta mampu berinteraksi dengan baik tanpa ada sekat
perbedaan agama, suku dan budaya.