Senin, 07 Januari 2013

Menanti Pemilukada Yang Damai




Perhelatan politik menjelang pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan nampaknya semakin seruh. Berbagai cara dan strategi makin intens dilakukan oleh masing-masing tim sukses untuk memenangkan kandidatnya. Dan tentunya kita berharap semoga pemilihan kepala daerah (Pemilukada) di wilayah ini dapat berjalan dengan lancar dan penuh kedamaian, sebagaimana yang menjadi harapan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya.

Tentunya hal ini sangat penting untuk diperhatikan, Sebab sangat jarang penyelenggaran Pemilukada di bangsa ini berakhir dengan damai,  malah terkadang berakhir dengan kerusuhan dan menelan korban jiwa. Ironisnya lagi, yang terkadang menjadi korban dalam insiden tersebut adalah warga sipil yang tidak tahu-menahu persoalan politik. 

Persoalan ini memang cukup krusial, sebab bisa melahirkan kekerasan yang berkelanjutan akibat dendam dan kebencian yang terpendam diantara mereka. Padahal Pemilukada tidaklah diciptakan sebagai arena produksi kebencian dan dendam, melainkan sebagai wahana untuk memperjelas komitmen serta kedewasaan kita dalam berpolitik.  

Selain itu, persoalan ini juga sangat erat kaitannya dengan kelangsungan system pemerintahan Sulawesi Selatan kedepan (pasca Pimilukada), sebab kualitas kepemimpinan Gubernur Sulsel tidak bisa dilepaskan dari proses penyelenggaraan Pemilukada yang damai, jujur dan berkeadilan. Olehnya itu, kesadaran dan kualitas kampaye serta sikap toleran yang penuh kesantunan dalam berpolitik menjadi penentu utama terselenggaranya proses pemilukada yang aman dan damai. Tanpa dengan sikap itu, Pemilukada di wilayah ini hanya akan menjadi arena produksi kebencian dan dendam diantara sesama.

Pemilukada adalah bahagian dari demokrasi kebangsaan yang didalamnya mengsyaratkan perlunya bersikap toleran serta mampu menghargai pilihan orang lain, dan nampaknya sikap seperti ini yang jarang ditemukan dalam proses pelaksanaan Pemilukada, sehingga wajar saja jika pemilukada selalu diwarnai kekerasan, intiminasi, kecurangan dan bahkan terkadang berakhir dengan kericuhan.

Meski system demokrasi bukan tradisi yang lahir dari rahim bangsa kita, namun bukan berarti subtansi demokrasi tidak pernah ada dibangsa ini. Jauh sebelum istilah demokrasi di dipopulerkan oleh para pemikir modern, nilai subatansi demokrasi telah menjadi bahagian dari prilaku hidup masayarakat Nusantara, khususnya masyarakat Sulsel  pada masa lampau.

Jika salah satu makna subatansi demokrasi adalah terbangunnya prilaku hidup yang humanis melalui sikap toleran, belaku jujur serta mampu mengedepankan sikap dialogis dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi, maka prilaku tersebut bukanlah prilaku yang baru bagi sebahagian warga kita, melainkan telah terkontruksi dalam pola kehidupan sosial mereka sejak dari dulu.

Pola kehidupan ini lebih dikenal dengan istilah budaya sipakatau, sipakala’qbi, dan sipakainga. Budaya  tersebut juga sekaligus menjadi cerminan moralitas kehidupan masyarakat Sulsel yang senantiasa mereka terjemahkan dalam laku kehidupan sosial mereka, dan tidak jarang pula dihadirkan dalam upaya untuk membangun sprit kehidupan sosial yang lebih demokratis, sehingga dengan demikian tercipta relasi sosial yang humanis, toleran dan dialogis, baik dalam dalam lingkup kehidupan sosial, ekonomi, dan terlebih lagi dalam konteks kehidupan politik yang sarat dengan berbagai perbedaan dan kepentingan.

Olehnya itu, Pemilukada yang tidak didasarkan pada kearifan lokal tersebut, hanya akan melahirkan demokrasi semu, serta prilaku hidup yang secara sosial tidak sehat, karena budaya demokrasi hanya bisa berdiri tegak diatas sistem politik yang sehat dan ditopan oleh krakter kebudayaan yang melekat pada daerah tersebut.

Percaturan politik yang tidak mengedepankan nilai-nilai kebudayaan tersebut akan sangat berpotensi melahirkan kekisruhan sosial dan mencederai kelangsungan kehidupan sosial manusia yang sarat akan perbedaan. Oleh karenanya, impian akan terciptanya Pemilukada damai hanya mungkin tercipta dari ruang kemanusiaan kita yang mengedepankan sikap sipakatau, sipakainga, dan sipakalaqbi tersebut.

Ketiga sifat tersebut tidak hanya dijadikan sebagai cerminan kehidupan dan identitas sosial masyarakat kita, melainkan juga menjadi landasan moralitas sosial dalam upaya membangun system politik yang lebih beradab.