Perhelatan
politik menjelang pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan nampaknya semakin seruh. Berbagai
cara dan strategi makin intens dilakukan oleh masing-masing tim sukses untuk memenangkan
kandidatnya. Dan tentunya kita berharap semoga pemilihan kepala daerah
(Pemilukada) di wilayah ini dapat berjalan dengan lancar dan penuh kedamaian,
sebagaimana yang menjadi harapan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya.
Tentunya
hal ini sangat penting untuk diperhatikan, Sebab sangat jarang penyelenggaran
Pemilukada di bangsa ini berakhir dengan damai, malah terkadang berakhir dengan kerusuhan dan
menelan korban jiwa. Ironisnya lagi, yang terkadang menjadi korban dalam
insiden tersebut adalah warga sipil yang tidak tahu-menahu persoalan
politik.
Persoalan
ini memang cukup krusial, sebab bisa melahirkan kekerasan yang berkelanjutan
akibat dendam dan kebencian yang terpendam diantara mereka. Padahal Pemilukada
tidaklah diciptakan sebagai arena produksi kebencian dan dendam, melainkan
sebagai wahana untuk memperjelas komitmen serta kedewasaan kita dalam
berpolitik.
Selain
itu, persoalan ini juga sangat erat kaitannya dengan kelangsungan system
pemerintahan Sulawesi Selatan kedepan (pasca Pimilukada), sebab kualitas
kepemimpinan Gubernur Sulsel tidak bisa dilepaskan dari proses penyelenggaraan
Pemilukada yang damai, jujur dan berkeadilan. Olehnya itu, kesadaran dan kualitas
kampaye serta sikap toleran yang penuh kesantunan dalam berpolitik menjadi penentu
utama terselenggaranya proses pemilukada yang aman dan damai. Tanpa dengan
sikap itu, Pemilukada di wilayah ini hanya akan menjadi arena produksi
kebencian dan dendam diantara sesama.
Pemilukada adalah bahagian dari demokrasi kebangsaan yang
didalamnya mengsyaratkan perlunya bersikap toleran serta mampu menghargai pilihan orang lain, dan nampaknya sikap seperti
ini yang jarang ditemukan dalam proses pelaksanaan Pemilukada, sehingga wajar
saja jika pemilukada selalu diwarnai kekerasan, intiminasi, kecurangan dan
bahkan terkadang berakhir dengan kericuhan.
Meski system demokrasi bukan tradisi yang
lahir dari rahim bangsa kita, namun bukan berarti subtansi demokrasi tidak
pernah ada dibangsa ini. Jauh sebelum istilah demokrasi di dipopulerkan oleh
para pemikir modern, nilai subatansi demokrasi telah menjadi bahagian dari prilaku
hidup masayarakat Nusantara, khususnya masyarakat Sulsel pada masa lampau.
Jika
salah satu makna subatansi demokrasi adalah terbangunnya prilaku hidup yang
humanis melalui sikap toleran, belaku jujur serta mampu mengedepankan sikap
dialogis dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi, maka prilaku
tersebut bukanlah prilaku yang baru bagi sebahagian warga kita, melainkan telah
terkontruksi dalam pola kehidupan sosial mereka sejak dari dulu.
Pola
kehidupan ini lebih dikenal dengan istilah budaya sipakatau, sipakala’qbi, dan sipakainga. Budaya tersebut juga sekaligus
menjadi cerminan moralitas kehidupan masyarakat Sulsel yang senantiasa mereka terjemahkan
dalam laku kehidupan sosial mereka, dan tidak jarang pula dihadirkan dalam upaya
untuk membangun sprit kehidupan sosial yang lebih demokratis, sehingga dengan
demikian tercipta relasi sosial yang humanis, toleran dan dialogis, baik dalam dalam
lingkup kehidupan sosial, ekonomi, dan terlebih lagi dalam konteks kehidupan politik
yang sarat dengan berbagai perbedaan dan kepentingan.
Olehnya
itu, Pemilukada yang tidak didasarkan pada kearifan lokal tersebut, hanya akan
melahirkan demokrasi semu, serta prilaku hidup yang secara sosial tidak sehat,
karena budaya demokrasi hanya bisa berdiri tegak diatas sistem politik yang
sehat dan ditopan oleh krakter kebudayaan yang melekat pada daerah tersebut.
Percaturan
politik yang tidak mengedepankan nilai-nilai kebudayaan tersebut akan sangat
berpotensi melahirkan kekisruhan sosial dan mencederai kelangsungan kehidupan sosial
manusia yang sarat akan perbedaan. Oleh karenanya, impian akan terciptanya Pemilukada
damai hanya mungkin tercipta dari ruang kemanusiaan kita yang mengedepankan
sikap sipakatau, sipakainga, dan sipakalaqbi tersebut.
Ketiga
sifat tersebut tidak hanya dijadikan sebagai cerminan kehidupan dan identitas
sosial masyarakat kita, melainkan juga menjadi landasan moralitas sosial dalam
upaya membangun system politik yang lebih beradab.