Selasa, 30 Oktober 2012


Merayakan Kehidupan Melalui Idul Qurban

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya perayaan hari raya Idul Adha sangat erat kaitannya dengan sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim as atas putranya Ismail as. Kisah pengorbanan tersebut pun menjadi ritual dan tradisi keagamaan yang sampai hari ini masih dapat kita saksikan, dimana orang-orang yang berkecukupan melakukan ritual penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk pengabdian dan ketaqwaan mereka kepada Allah Swt. 

Demikian juga, dalam sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim, Allah Swt memperlihatkan kasih sayang dan kemahakuasaannya, dimana saat Ismail akan disembeli oleh ayahnya dalam altar pengorbanan, tiba-tiba sembelihan tersebut berganti menjadi seekor Domba. Bisa dibayangkan, andaikan Allah Swt tidak memperlihatkan kasih sayang dan kemahakuasaanya, besar kemungkinan sejarah pengorbanan tersebut akan menjadi tragedi kemanusiaan yang terus berlanjut, dan mungkin saja akan menjadi ritual keagamaan kita sampai hari ini, dimana dalam setiap tahun kita akan menyaksiakan parade penyembelihan manusia atas manusia untuk kepentingan ibadah.


Idul Qurban dan Teladang Siti Hajar 

Hari raya Idul Adha atau hari raya kurban yang setiap tahun dirayakan oleh segenap ummat Islam adalah merupakan bahagian dari syiar Islam. Selain diperintahkan untuk beribadah ke tanah suci Mekkah, juga di dalamnya tersirat sejarah pergorbanan Nabi Ibrahim as beserta isterinya Siti Hajar dan putranya Ismail as. 

Meski pada akhirnya, perintah Allah untuk mengorbankan putranya tersebut tidak terlaksana, karena atas dasar kehendak dan kemahakuasaan Allah Swt Ismail diganti dengan seekor Domba. Namun ritual pengorbanan tersebut terus berlanjut dan bahkan telah menjadi tradisi tahunan dalam Islam. 

Rabu, 17 Oktober 2012


                                        

                                          

                                                Balack Campaign Vs Kearifan Demokrasi


Meski perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Selatan (Sulsel) masih dalam hitungan Bulan dan Tahun,  nampaknya strategi dan hawa politik yang dihembuskannya cukup terasa. Beredarnya berita Gubernur Narkoba lewat The Tabloid dibeberapa daerah di Sulsel baru-baru ini yang kemudian diduga sebagai aksi gerakan balack campaign (BC) terhadap kandidat tertentu, semakin memperjelas bahwasanya dinamika perpolitikan di derah ini semakin tidak sehat. Fakta tersebut pun seolah menjadi sinyal akan redupnya kearifan demokrasi politik di Sulsel.

Gerakan BC nampaknya telah menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi dalam setiap momen Pilkada. Sehingga ia pun seolah menjadi strategi yang cukup fenomenal di bangsa ini, dan segaja dilakukan oleh oknum tertentu sebagai upaya untuk menacapai tujuan yang diinginkannya. Pola gerakan BC dikemas dalam bentuk yang cukup rapih dan terorganisir. Sehingga terkadang membuat kita sulit untuk mengetahui lebih jauh siapa dalang dari prilaku tersebut.
Dalam konteks sosial politik, BC bukanlah sesuatu yang sifatnya netral, melaingkan dia adalah bahagian dari strategi politik yang sarat akan berbagai kepentingan, dan bisa saja dihadirkan sebagai bentuk pendzaliman terhadap diri sendiri untuk mengundang rasa simpati masyarakat, atau bisa juga di scenario-kan oleh orang lain atau lawan politik seorang kandidat dengan tujuan untuk merusak serta menghabisi citra dan popularitas politiknya.

Fenomena tersebut pun telah menyisakan berbagai persoalan yang cukup rumit. Sebab selain pelakunya sulit dideteksi, juga bisa melahirkan gesekan sosial akibat kesalah pahaman, fitnah, kecurigaan serta stigma negative terhadap kandidat tertentu. Demikian juga, prilaku provokatif tersebut akan mengundang kekisruhan sosial, lahirnya mental pecundang dalam dunia politik, serta redupnya kearifan demokrasi yang senantiasa mengedapankan nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan, dan keharmonisan sosial sebagaimana yang menjadi landasan moralitas masyarakat Sulsel pada umumnya.

Fenomena tersebut, jika tidak disikapi dengan penuh kearifan, maka tidak menutup kemungkinan kegaduhan politik akan semakin menjadi-jadi dan akan mematikan nalar kearifan politik generasi bangsa kita ke depan. Sehingga Budaya sipakatau, sipakala’qbi, dan sipakainga yang merupakan cerminan dan sekaligus menjadi identitas kehidupan sosial masyarakat kita lambat laun akan sirna dan tergantikan dengan pola perpolitikan yang semakin tidak beradab.

Kearifan Demokrasi
Meski demokrasi bukanlah sebuah tradisi yang lahir dari rahim bangsa kita, namun bukan berarti subtansi demokrasi tidak pernah ada dibangsa ini. Jauh sebelum istilah demokrasi di dipopulerkan oleh para pemikir modern, subatansi demokrasi telah menjadi bahagian dari prilaku kehidupan masayarakat Nusantara, khususnya masyarakat Sulsel pada masa lampau.

            Jika salah satu makna subatansi demokrasi adalah terbagunnya prilaku hidup yang humanis melalui sikap menghargai kehidupan orang lain, belaku jujur serta mampu mengedepankan sikap dialogis dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang terjadi, maka prilaku tersebut bukanlah prilaku yang asing bagi sebahagian warga sulsel, melaingkan telah terkontruksi dalam pola kehidupan sosial mereka. Pola kehidupan tersebut lebih dikenal dengan istilah budaya sipakatau, sipakala’qbi, dan sipakainga.

Budaya  tersebut juga sekaligus menjadi cerminan moralitas kehidupan masyarakat Sulsel yang senantiasa mereka terjemahkan dalam laku kehidupan sosial mereka serta tidak jarang pula dihadirkan dalam upaya untuk membangun sprit kehidupan demokrasi agar tercipta interaksi sosial yang humanis, toleran dan dialogis baik dalam dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi terlebih lagi dalam konteks politik yang sarat dengan berbagai kepentingan.

Olehnya itu, demokrasi yang tidak berlandaskan pada keariafan lokalnya, hanya akan melahirkan demokrasi semu, serta prilaku hidup secara sosial yang tidak sehat. karena kearifan demokrasi hanya bisa berdiri tegak diatas sistem politik yang sehat dan ditopan oleh krakter kebudayaan yang melekat pada setiap daerah tersebut.

Terlepas dari misi dan tujuan BC dalam setiap momentum percaturan politik, tentunya prilaku tersebut adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan kearifan demokrasi bangsa ini, sebab ia telah mencederai kehidupan kemanusiaan yang mengedepankan semangat kebersamaan, penghargaan terhadap nilai kemanusiaan serta telah mematikan krakter kebudayaan lokal bangsa kita. Sehingga ia pun tidak pantas disandingkan dengan kehidupan demokrasi apalagi menjadi landasan pembangunan peradaban bangsa yang lebih manusiawi.