Jumat, 01 Juni 2012

Menyongsong Tahun 2012 Dengan Penuh Kedamaian Oleh:

 Suaib Amin Prawono



Tahun 2011 baru saja berlalu dalam kehidupan kita, dan tentunya ditahun tersebut berbagai hal-hal penting telah kita evaluasi dan reflesikan secara bersama, khususnya yang terkait dengan persoalan kekerasan yang terjadi diberbagai belahan bumi Nusantara ini. Kasus kekerasan sebagaimana yang kita saksikan bersama, seperti yang terjadi di Mesuji Lampung Sumaterah Selatan dan Bima Nusa Tenggara Barat menjadi berita fenomenal dipenghujung akhir tahun 2011.

Tentunya kasus Mesuji dan Bima bukanlah satu-satunya kasus kekerasan yang pernah terjadi, khususnya yang terkait dengan persoalan sengketa lahan. Kasus Mesuji ini hanyalah satu dari 101 kasus pelanggaran dan tindakan kekerasan sebagaimana yang dicatat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) selama tahun 2011, yang melibatkan aparat dalam menangani konflik pengelolaan sumber daya alam antara warga dengan perusahaan.  Berdasarkan informasi dari Walhi tersebut, sebanyak 123 orang ditahan, 26 luka berat, dan 9 orang meninggal dunia, juga terdapat 62 orang terkena luka tembak. Hal tersebut pun sekaligus menjadi sorotan tajam akan ketidak beresan aparat kepolisian bangsa ini dalam menangani masalah, khususnya yang terkait dengan pengamanan unjuk rasa massa.


Selain itu, berbagai kasus yang terjadi  di tahun 2011, yang nota bene ditengarai sebagai bentuk pembiaran negara terhadap tindak kekerasan, seperti kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cekeusik, Kabupaten pandeglang, kasus Jemaat GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat, penembakan aparat terhadap warga sipil sebagaimana yang terjadi di Freeport, Timika Papua, pembubaran paksa penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua III yang terjadi Oktober lalu dan menimbulkan korban jiwa dari warga akibat tertembak peluru aparat, dan yang terakhir adalah kasus Mesuji dan Bima yang seolah menjadi penutup akhir tahun 2011.


Demikian juga, masih pada tahun yang sama (2011), kita menyaksikan perayaan natal dibarengi dengan pengaman ketat oleh aparat keamanan. Saat perayaan natal tiba, ratusan personil keamanan ditiap daerah dikerahkan untuk mengamankan perayaan Natal tersebut. Fenomena ini pun menjadi sebuah ironi bagi negeri yang konon menjamin kebebasan beribadah bagi setiap pemeluknya. Dan tentunya, hal tersebut semakin membuktikan bahwasanya bangsa ini  belum sepenuhnya aman dari ancaman kekerasan (terorisme).


Aksi kekerasan dalam bentuk teror masih menjadi ancaman serius bagi sebahagian warga kita, khususnya kepada mereka saudara kita ummat kristiani. Ironisnya lagi, buronan terorisme yang selama ini dicari-cari oleh aparat keamanan malah kembali berulah dan tidak jarang menjadikan rumah ibadah sebagai sasaran utama aksi mereka.


Hentikan Kekerasan
Menjelang akhir tahun 2011 kemarin, Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono menghimbau kepada segenap rakyat Indonesia agar menjadikan tahun 2012 sebagai tahun kedamaian,  dengan memperkokoh persaudaraan dan kerukunan serta tidak membiarkan tindak kekerasan terjadi lagi. Meski demikian, himbauan tersebut dinilai pesimis oleh sebahagian kalangan, sebab yang paling banyak melakukan tindak kekerasan pada tahun 2011 kemarin adalah aparat kepolisian.


Choirul Anam, Direktur Human Right Working Groups memperediksi bahwa kekerasan tahun ini akan meningkat disebabkan karena tiga hal, yaitu: Pertama, lemahnya kepolisian kita berhadapan dengan kelompok kekerasan. Kedua, tidak ada usaha signifikan oleh aparat kepolisian untuk menangkal sikap kebencian dalam kaitan dengan isu agama. Ketiga, Polisi semakin percaya diri untuk melakukan tembak ditempat untuk menaggulagi aksi anarkisme (Kompas, 2 Januari 2011)


Olehnya itu, semestinya Presiden secara tegas menghimbau kepada aparat kepolisian agar serius mengurusi keamanan negara, serta komitmen dalam menciptakan rasa aman begi segenap warga masyarakat, karena sudah menjadi tugas aparat kepolisian kita untuk menciptakan kondisi sosial yang aman.


Pada akhirnya, untuk mewujudkan Impian tahun 2012 sebagai tahun kedamaian tentunya harus ditopan oleh keseriusan semua kalangan untuk meretas budaya kekerasan, menegakkan supremasi hukum dengan seadil-adilnya, memerangi kemiskinan, dan menciptakan suasana politik yang demokratis serta berani untuk hidup berdamai dengan yang lain.

Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki


Oleh; Suaib Amin Prawono

Dewasa ini, fenomena kekerasan, diskiriminasi, eksploitasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan kerap kali terjadi  dalam  berbagai aspek kehidupan sosial kita, baik dari segi  ekonomi, politik, agama dan budaya. Sehingga hal tersebut mengakibatkan terbatasnya ruang ekspresi perempuan dalam arena publik. Salah satu penyebab dari semua itu adalah dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir dan cara pandang sebahagian masyarakat kita.
 
Dalam budaya patriarki peran laki-laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan. Sehingga berakibat pada lahirnnya pola relasi yang tidak seimbang diantara keduanya  dan bahkan sama sekali tidak membawa dampak keberuntungan dalam lini kehidupan kaum perempuan sebab budaya patriarki ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melaikan juga telah berhasil mengkontruksi sebuah kebijakan yang mana kebijakan tersebut berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan.
 
Hal ini kita bisa lihat secara jelas dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU ini telah melahirkan legitimasi khusus bagi kaum laki-laki dimana laki-laki  diposisikan  sebagai kepala rumah tangga, sementara perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga. Penghargaan terhadap eksisitensi kaum perempuan baik dari segi kebijakan maupun ekonomi semakin menemukan ketidak-jelasannya saat sistem ekonomi kapitalis menguasai dunia usaha.
 
Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal atau perusahaan mempekerjakan buruh murah yang sebahagian besar  adalah kaum perempuan. Buruh perempuan digaji lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung jawab terkait persoalan hak cuti bagi buru perempuan.
 
Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki, sebab perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah publik.
 
Selain itu, meningkatnaya anggka buta huruf bagi kaum perempuan, kematian ibu saat melahirkan, perdagangan kaum perempuan dan pekerja rumah tangga hampir tidak pernah mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah dan para penentu kebijakan.  Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama; tidak terbukanya ruang partisipasi kaum perempuan dalam pengambilan keputusan. Minimnya partisipasi perempuan dalam hal pengambilan keputusan ini mengakibatkan lahirnya kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan hidup kaum perempuan.
 
Kedua; lahirnya norma-norma budaya dan tafsir agama yang diskriminatif dimana perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin menjadi salah satu penyebab sulitnya kaum perempuan mengambil peran dan posisi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan politik terkait dengan kepentingan dan kemajuan perempuan dalam ranah sosial.
  
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dan hal ini kemudian dikontruksi dalam budaya patriarki sehingga melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Padahal perbedaan jenis kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah merupakan kodrat Ilahiah yang tidak mungking bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapapun.
 
Dalam konsep analisis gender dijelaskan bahwa perbedaan tentang sifat, peran, posisi dan tanggung jawab perempaun dan laki-laki yang didasarkan pada jenis kelamin adalah sesuatu yang diciptakan oleh masayarakat dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia.
 
Olehnya itu, sangat naif  kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidak-adilan bagi kaum perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan berarti peran laki-laki dan perempuan dalam rana sosial harus pula dibeda-bedakan.