Jumat, 21 Oktober 2011

Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

Suaib Amin Prawono

Sejak diproklamirkannya gagasan Jhon Naisbit oleh sebahagian pakar sosial dengan jargon “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan bertindak lokal), seketika itu pula, gagasan tersebut menjadi arus utama bagi kalangan intelektual Indonesia dalam melihat fenomena global serta persentuhannya dengan lokalitas bangsa ini.

Gagasan yang booming pada tahun 1990-an ini, mengisyaratkan pembacaan tentang gerak globalisasi yang senantiasa harus dicermati dengan cerdas, dalam artian, pembacaan terhadap fenomena globalisasi tidaklah mengarah pada konteks gagasan anti-globalisasi, akan tetapi gagasan tersebut berupaya untuk membaca gerak globalisasi secara kritis sebagai upaya untuk melahirkan gagasan produktif dan progresif demi kemajuan bangsa ini.

Tentunya goresan ini tidaklah hadir untuk menyalahkan globalisasi sebagai sesuatu yang sifatnya “sunnatullah”, meskipun di satu sisi tidak bisa dipungkiri bahwasanya tidak semua produk globalisasi berdampak positif terhadap kehidupan sosial kita. Namun yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh sehubungan dengan kehadiran globalisasi dalam ruang lokal kita adalah tergusurnya kearifan lokal di tengah cengkeraman hegemoni global, sehingga lambat laun kearifan lokal beserta makna yang tersimpan di dalamnya hanya tinggal nama dan tidak lagi menjadi pijakan moral sosial dalam kehidupan kebangsaan kita.

Demikian juga, tulisan ini tidaklah bermaksud untuk menawarkan gagasan yang sifatnya terkunci dalam paradigma lokal dan kering dari perkembangan globalisasi, akan tetapi bagaimana tujuan dan fenomena globalisasi mampu dibaca dan diterjemahkan oleh para generasi bangsa ini untuk kepentingan lokal mereka, karena setiap sistem perubahan harus selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah salah seorang intelektual asal Maroko, Almarhum Muhammad Abed Al-Jabiri ‘Attajdidu mina dhahil’ perubahan harus berangkat dari tradisi kita, bukan dengan meminjam tradisi orang lain.

Fenomena Pendidikan Kita

Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena pendidikan kita dewasa ini tidak hanya membuat lembaga pendidikan kita kehilangan ruang gerak sosial, akibat orientasi pendidikan yang tertuju kepada kepentingan pasar, akan tetapi juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik kita tentang sejarah lokal, kearifan lokal, serta tradisi kebudayaan yang tersimpan di dalamnya.

Meskipun secara teoritis diketahui bahwasanya pendidikan adalah salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru yang terjadi adalah kemajuan dan kecerdasan pendidikan di negeri ini masih diukur dalam tataran material, seperti bangunan mewah, sarana dan prasarana yang lengkap serta tingginya angka kelulusan siswa setiap tahun.

Padahal, tolok ukur kemajuan (keberhasilan) pendidikan tidaklah diukur hanya dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, akan tetapi juga di ukur dari sejauh mana pendidikan tersebut mampu membangun moralitas sosial peserta didik yang terkoneksi dengan realitas kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.

Pendidikan sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan di produksi sebagai modal pengetahuan bagi peserta didik yang tentunya sangat terkait dengan persoalan amanat sosial kebangsaan.

Jika pendidikan yang notabene sebagai pilar pembangunan bangsa yang beradab dan bermartabat tidak mampu survive di tengah perkembangan zaman, kira-kira akan seperti apa budaya pendidikan bangsa ini ke depan?

Tentunya, pembacaan terhadap kearifan lokal menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam sistem pendidikan kita dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa, bukan dengan gagasan yang sifatnya mengawang serta jauh dari realitas kehidupan peserta didik.

Landasan Pendidikan

Dewasa ini, arus penetrasi kebudayaan yang datang dari Barat dan Timur Tengah semakin gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia, serta di perparah lagi dengan adanya kecenderungan sebahagian generasi muda bangsa ini berkiblat kepada kedua kebudayaan tersebut. Sehingga disatu sisi, semakin menjadikan citra bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk di mata dunia.

Kiblat peradaban mereka (baca; generasi muda) adalah Barat dan Timur Tengah, sehinga tanpa disadari fenomena kebudayaan yang kita miliki pun ikut mengalami proses westernisasi dan arabisasi. Padahal jika kita mencermati secara kritis kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Cina dan India misalanya, itu tidak lepas dari kehebatan mereka dalam mengkaji kearifan lokalnya.

Belum lagi perilaku moralitas sebahagian generasi bangsa ini semakin jauh dari garis kebudayaan bangsanya. Atau jangan-jangan, seabrek persoalan sosial yang terjadi seperti bencana alam, kasus seks bebas yang marak terjadi di kalangan remaja, kemiskinan, gagal panen, dan tindak kekerasan adalah wujud dari menipisnya kearifan lokal kita serta ketidak-mampuan memahami kearifan lokal bangsa sebagai sarana dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang bermartabat.

Apa yang ditawarkan oleh Abed Al-Jabiri di atas, adalah tawaran yang sangat menarik untuk kita reflesikan bersama dalam konteks kehidupan kebangsaan kita, sebagai bangsa yang kaya akan kebudayaan lokal serta didalamnya tersimpan banyak mutiara hikmah yang dapat menjadi motivasi dan pijakan kehidupan kita untuk merajut kembali citra bangsa yang berada diambang keterpurukan moral menuju bangsa yang disegani sebagaimana yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah nusantara masa silam.

Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan kita (baik formal maupun non-formal) sebagai landasan utama dalam mewarnai gerakan generasi bangsa kedepan. Membangun sumber daya manusia yang bermartabat tentunya tidaklah harus menafikan keberadaan kearifan lokal, karena pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang berangkat dari ruang kearifan lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber pengetahuan.

Senin, 10 Oktober 2011

Pudarnya Nilai-nilai Kemanusiaan

Oleh: Suaib Amin Prawono

Suatu ketika Rasululah SAW bertanya kepada sahabatnya, maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar (pahalanya) daripada sholat dan puasa? Para sahabat nabi menjawab, tentu wahai Rasulullah. Rasulullah kemudian bersabda; “damaikan mereka yang bertengkar, jalin persaudaraan yang terputus, pertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, jembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan kukuhkan tali persaudaraan diantara mereka”. (HR. Imam Bukhari)

Hadist di atas menggambarkan pentingnya mendamaikan dan menyambungkan tali persaudaraan diantara sesama manusia, khususnya kepada mereka yang sedang bertikai. Demikian juga, dalam hadist tersebut tersirat makna filosofis tentang nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian yang sangat erat kaitannya dengan konteks kehidupan sosial manusia, sebab relasi persaudaraan hanya bisa terwujud jika dilandasi oleh perdamaian, demikian pula sebaliknya, tidak akan ada perdamaian yang utuh tanpa adanya jalinan persaudaraan diantara sesama.

Selain itu, perdamaian dan persaudaraan merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat, karena kemaslahatan sosial tidak akan terwujud dalam suatu masyarakat yang didalamnya banyak tumbuh benih-benih dendam dan kebencian. Betapa mulianya nilai-nilai persaudaraan ini, karena dengan menganggap orang lain sebagai saudara kita, maka secara tidak langsung kita telah menganggap orang lain sebagai bahagian dari diri kita sendiri, sehingga gejolak dendam dan kebencian yang bisa mengundang permusuhan diantara sesama mampu kita redam, dan akhirnya kita pun mampu menemukan kedamaian hidup yang seirama dengan dinamisasi kehidupan ummat manusia yang berperadaban.

Meski demikian, cukup disayangkan karena hadist tersebut tidak menemukan makna sosialnya dalam dinamika kehidupan kebangsaan kita dewasa ini, mala belakangan ini bangsa kita banyak diterpa oleh berbagai macam kerusuhan, khususnya yang terkait dengan persoalan suku, Agama dan Ras (SARA). SARA yang merupakan ketentuan Ilahiah dan sifatnya sunnatullah sengaja dihadirkan Tuhan di bumi manusia sebagai sarana untuk menumbuhkan persaudaraan melalui cinta dan kasih sayang, bukan sebaliknya menjadikan SARA sebagai sarana untuk memupuk kebencian diantara sesama.

Semakin Memudar

Penomena kekerasan yang terjadi belakangan ini adalah merupakan indikasi dari redupnya hubungan antar pribadi dan sosial yang berbanding lurus dengan tertutupnya ruang kepercayaan diantara sesama. Terkait hal ini, menarik apa yang telah diulas oleh William Chang diharian Kompas, 1 Oktober 2010 lalu, ia mengatakan bahwa penomena kekerasan yang terjadi di Negara ini merupakan bukti nyata betapa penghuni bangsa ini sedang dilanda prustasi sosial yang diakibatkan oleh arogansi kelompok, kemiskinan, lemahnya penegakan hukum serta tidak tegaknya keadilan.

Lebih lanjut sosiolog Indonesia ini mengungkapkan bahwa prustasi sosial juga menjadi salah satu penyebab pudarnya penghargaan manusia terhadap manusia lain, sehingga konflik sosial yang terkadangan mengatasnamakan agama dan identitas budaya (siri’) mudah tersulut. Akibatnya, sebahagian masyarakat kita tidak lagi memperdulikan kehidupan orang lain sebagai sesuatu bermakna, sehingga aksi kekerasan yang bermuara pada penghilangan nyawa manusia muda saja terjadi.

Demikian pula halnya, kurangnya pendidikan kemanusiaan dalam ranah kehidupan rumah tangga, lembaga sekolah, universitas dan agama juga menjadi salah satu pemicu lahirnya tindakan kekerasan dan pertikaian sosial dalam tatanan kehidupan masyarakat kita, sehingga nyawa manusia yang tak ternilai harganya seolah tidak mempunyai arti apa-apa di mata sebahagian orang atau kolompok yang sedang bertikai.

Akibatnya, bangsa kita pun dirungdung oleh berbagai duka serta kegalauan hidup akibat konflik sosial yang tiada henti. Lihat saja sederet kasus yang terjadi belakangan ini, mulai dari konflik sosial yang terjadi di Ambon dan mengakibatkan puluhan warga luka-luka serta tiga orang lainnya dikabarkan tewas, konflik tersebut dipicu oleh meninggalnya seorang tukang ojek yang diduga dianiaya. Demikian pula halnya dengan aksi tawuran antar warga, pelajar, mahasiswa serta pembunuhan tiga orang warga di jalan perintis kemerdekaan Makassar baru-baru ini yang juga hampir memicu lahirnya konflik SARA. Dan bukan hanya itu, Penomena tersebut pun semakin memudarkan interaksi persaudaraan diantara kita sehingga perdamaian semakin sulit untuk dicapai.

Pudarnya nilai-nilai persaudaraan dalam relasi sosial ini seolah menjadikan perdamaian sebagai barang yang langkah dan mahal, ironisnya lagi justru tidak jarang persoalan konflik diselesaiakan dengan sistem balas dendam, padahal dalam sejarahnya, belum pernah ada masalah yang selesai dengan sistem balas dendam tersebut, justru yang terlahir adalah dendam dan kebencian yang suatu saat bisa menjadi pemicu lahirnya konflik baru.

Kehidupan Yang Damai

Saat perdamaian menjadi komoditas yang mahal dalam laku kehidupan kita, maka pada saat yang sama relasi sosial kita akan terus dihantui oleh berbagai macam kekerasan, sehingga membuat kehidupan kita semakin tegang dan dipenuhi oleh kecurigaan. Demikian juga, Kemiskinan, kelaparan dan pengungsian warga akan menjadi wajah baru dalam dinamika kehidupan sosial kita. Tentunya, kehidupan yang damai, aman dan penuh kasih sayang adalah dambaan segenap ummat manusia, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menciptakan kehidupan yang damai di muka bumi ini.

Terkait dengan ini, hadist Nabi Muhammad SAW diawal tulisan ini menjadi penting untuk kita refleksikan bersama dalam menata kehidupan sosial kita kedepan, khususnya kepada mereka ummat Islam sebagai penduduk mayoritas bangsa ini yang tentunya mempunyai peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga persaudaraan dan perdamaian diantara sesama manusia.

Pesan humanis yang terkandung dalam hadist tersebut juga sangat jelas kita temukan, dimana didalamnya mencoba menyapa sisi kehidupan kita yang penuhi oleh gejolak konflik yang setiap saat dapat muncul tanpa mengenal batas waktu dan usia. Olehnya itu, agar kehidupan kita lebih bermakna dan penuh dengan suasana kedamaian, disamping kita harus mampu menahan amarah dan memberi ma’af kepada orang lain, kita juga harus mampu menghilangkan dendam dan kebencian yang bercokol dalam hati kita, sebab kebencian dan dendam tidak akan pernah menjadi solusi kehidupan, justru akan mengundang bencana dan malapetaka yang lebih besar lagi.

Kehidupan yang damai hanya mungkin dicapai ketika kita mampu mengaktualisasikan nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian diantara sesama kita, sebagaimana yang menjadi inti sari dari hadist Nabi diatas, demikian juga halnya, hanya dengan jalan ini pula kita akan menemukan fitrah kemanusiaan kita, sebagai mana yang terkandung dalam makna idul fitri itu sendiri. Manusia yang suci tanpa dosa bagaikan bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya dan salah satu makna dari kesucian ini, karena manusia lahir tanpa dendam dan kebencian.