Selasa, 07 Desember 2010

Menyoal Keterlibatan Mahasiswa Dalam Pilgub Sulawesi Barat, Antara Kepentingan Kekuasaan Dan Kesejahteraan Rakyat Oleh: Suaib Amin Prawono

Hajatan Pilkada Gubernur (Pilgub) Sulawesi Barat tinggal hitungan bulan, meski belum ada kejelasan secara pasti dari pihak lembaga Komisi Pelihan Umum (KPU) Sulawesi Barat akan nama-nama kandidat Gubernur yang bakal “bertarung” dalam Pilgub Sulawesi Barat (Sulbar) nantinya, tapi sebahagian kandidat sudah ada yang terang-terangan menyatakan diri siap maju untuk memperebutan kursi 01 di daerah tersebut.

Pernyataan tersebut, dapat kita saksikan melalui pemberitaan media maupun baliho-baliho para calon-calon “kandidat” yang terpajang di sepanjang jalan Sulawesi Barat. Terlepas dari keseriusan mereka (para kandidat Gubernur) akan maju dalam Pilgub Sulbar nantinya, tidaklah terlalu penting untuk dicermati secara serius. Namun di satu sisi, yang paling penting untuk dicermati, karena didalamnya terdapat satu fakta akan terbukanya kran demokrasi politik di wilayah tersebut.

Demikian pula, para calon beserta tim suksenya, dengan berbagai kekuatan yang mereka miliki, intens melakukan sosialisasi dan konsolidasi kepada segenap warga masyarakat Sulawesi Barat akan kelebihan calon yang mereka dukung. Mereka melakukan komunikasi dengan berbagai element termasuk kelompok mahasiswa demi kesuksesan kandidatnya.

Tentunya keseriusan mereka menarik untuk kita cermati bersama, apalagi jika didalamnya terlibat para aktivis mahasiswa, entah ia menjadi tim sukses atau hanya menjadi komentator. Nampaknya peran mahasiswa dalam moment pilkada masih cukup diperhitungkan oleh sebahagian kandidat, sehingga tidaklah salah jika ada salah seorang kandidat yang bakal dalam Pilgub Sulbar, terlebih dahulu meminta dukungan dan restu dari pihak mahasiswa.

Pertanyaanya kemudian, kenapa peran mahasiswa cukup berpengaruh dalam setiap moment Pilkada digelar?. Apakah mahasiswa punya basis suara yang berpotensi untuk memenangkan seorang kandidat?.

Tentunya ada tiga alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, meskipun diakui bahwasanya mahasiswa bukanlah lumbung suara yang bisa menentukan kemenangan sang-kandidat, tapi peran mahasiswa sangat berpotensi untuk merusak tatanan strategi lawan lewat isu-isu provokatifnya yang kritis. Kedua, mahasiswa juga bisa menjadi mesin pengumpul suara kemenangan. Ketiga, Tentunya dengan kekuatan pressure dan kerja progresif dari kelompok mahasiswa sangat berpotensi untuk menentukan kemenangan seorang kandidat.

Kira-kira itulah potensi yang dimiliki oleh sebahagian mahasiswa. Olehnya itu, cukup beralasan jika keterlibatan mereka dalam setiap moment Pilkada sangat di perhitungkan. Apalagi dalam sebahagian benak masyarakat masih tertanam kuat asumsi bahwasanya mahasiswa adalah tokoh pergerakan moral yang bisa menjadi tumpuan harapan masyarakat, sehingga bagi kandidat yang mendapat dukungan mahasiswa akan mendapatkan citra tersendiri dalam lingkup kepentingan politiknya.

Tipikal Mahasiswa

Secara umum mahasiswa sering istilahkan sebagai gerbong intelektual, gerbon gerakan dan kelompok pembaharu, mempunyai tipikal tersendiri yang membedakan dirinya dengan kelompok lain. Paling tidak, secara sederhana tipikal mahasiswa dapat di bagi dalam tiga hal. Pertama, tipikal mahasiswa akademis, mereka adalah tipe mahasiswa yang tahunya hanya kuliah, belajar sunguh-sunguh dengan harapan bisa mendapatkan nilai bagus, cepat selesai serta cepat dapat pekerjaan, dan terkadang tipe mahasiswa seperti ini anti organisasi baik yang sifatnya Intra maupun ektra kampus, karena menurutnya, organisasi terkadang menghambat proses perkuliahan.

Kedua, tipe mahasiswa apatis, tipe mahasiswa seperti ini, lebih cenderung melihat dunia kampus sebagai tempat untuk bergaul, memperbanyak teman dan kebanyakan diantara mereka masa-bodoh dengan urusan perkuliahan serta fenomena sosial yang sedang terjadi, serta tidak jarang pula diantara mereka tidak mengetahui apa tujuan mereka kuliah, atau paling tidak ia masuk perguruan tinggi hanya sekedar untuk mengugurkan kegensiaannya sebagai anak kuliahan. Tipe mahasiswa seperti ini juga yang gampang dimobilisasi oleh kalangan mahasiswa lain untuk kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya dalam hal politik praktis.

Ketiga, tipe mahasiswa organisatoris, tipe seperti ini terkadang dalam menempuh proses perkuliahan cukup lama dan bahkan tidak jarang diantara mereka tidak sempat menyelesaikan studinya di bangku kuliah, tipe seperti ini juga yang sering dijuluki sebagai aktivis yang kritis dan progresif. Bagi model seperti ini kuliah tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan organisasi, sehingga sedikit banyaknya pengalaman dalam dunia kampus ia dapatkan dari proses berorganisasi.

Meskipun tipe mahasisawa organisatoris di dalamnya juga terdapat kubu idealis atau dalam artian kelompok anti politik pragmatis, namun kebanyakan juga diantara mereka berkarakter paragmatis dan terjung dalam dunia politik praktis seperti pilkada misalanya. Kehadiran mereka dalam dunia politik kebanyakan mengabdi menjadi menjadi tim sukses dan konseptor politik dan Mereka inilah yang banyak bekerja untuk memetakan dan mengkampayekan isu-isu strategis untuk memenagkan kandidatnya dan tentunya dengan segudang pengalaman organisasi yang ia miliki.

Fenomena Tim Sukses

Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure group yang tidak jarang didorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Dan pada sisi lain, mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konsep dan solusi atas berbagai problematika transisi. Sehingga berbagai kegagalan kita harus akui bersama sebagai bentuk kelemahan kita, salah satunya berasal dari keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, namun pada kenyataanya, di lapangan gerakan mahasiswa tidak lebih dari gerakan politik pragmatis.

Meskipun tidak semua gerakan mahasiswa terjebak dalam kepentingan politik pragmatis, tapi dalam kenyataanya, mayoritas gerakan mahasiswa tergiring untuk kepentingan pragmatis, entah mereka sadari atau tidak, yang jelasnya itulah fakta yang terjadi dalam dinamika pergerakan mahasiswa kita dewasa ini, dan ini pulalah yang disinyalir oleh Budiman Sudjatmiko melaui tulisanya di harian kompas tahun 2001 lalu sebagai bentuk Demoralisasi Gerakan Mahasiswa.

Dalam alam demokrasi setiap warga punya hak untuk menentukan pilihan serta dukungannya terhadap pigur yang mereka anggap bisa dan mampu mewakili aspirasi mereka, dan tentunya keterlibatan mahasiswa sebagai tim sukses dalam hal ini, menurut hemat penulis, tidaklah salah apalagi benar, disamping dalam pilkada ada ruang pembelajaran politik, juga pematangan keterampilan berpolitik bagi mereka (mahasiswa) yang punya kecenderungan untuk wilayah politis.

Namun yang menjadi persoalan jika mahasiswa kehilangan moralitas dalam melakukan kerja-kerja politik, dan melupakan eksistensinya sebagai mahasiswa atau sebagai penyambung lidah rakyat (Agen of change).

Meskipun disatu sisi banyak juga yang mensinyalir bahwasanya pilkada adalah proyek musiman bagi para aktivis mahasiswa, namun bukan berarti kita harus kehilangan nilai moral dalam mengawal pilkada sebagai awal dari proyek perubahan nasib rakyat untuk lebih maju dan sejahtera. Keterlibatan mahasiswa dalam proses pilkada (sebagai tim sukses) misalnya, paling tidak mampu meneguhkan komitmen moralitas kandidat untuk berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Bukan sebaliknya, meneguhkan kekuasaan serta mengabaikan kepentingan rakyat.

Hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan oleh segenap kalangan mahasiswa, sebab fenomena yang sering terulang dalam setiap moment pilkada usai, adalah ibarat kita mendorong mobil mogok, setelah itu, mobil tersebut melaju kencang meniggalkan kita malah hanya menyisahkan semburan-semburan asap yang mengepul. Sehingga dalam konteks ini, mahasiswa sebagai jendela kehidupan rakyat pun ikut dihianati oleh pemenang kekuasaan.

Tentunya hal ini tidaklah kita inginkan terulang kembali dalam setiap moment pilkada usai, dimana mahasiswa kehilangan nalar kritisnya akibat giuran materi dan kekuasaan, serta laju kencang kekuasaan hingga membutahkan misi kemahasiswaannya sebagai pengabdi rakyat.

Demikian juga, realitas di atas paling tidak bisa menjadi ajang refleksi untuk kita semua, khusunya bagi kita sebagai mahasiswa yang bermukim di wilayah Sulawesi Barat yang sebentar lagi bakal mengadakan Pilkada Gubernur. Selamat menentukan pilihan politik (kandidat), semoga bisa membawa berkah bagi kesejahteraan rakyat Sulawesi Barat ke depan. Amin