Jumat, 05 Maret 2010

Demokrasi Dan Budaya Lokal
Oleh; Suaib Amin Prawono

Siapa pihak yang paling diperhatikan dan dibela dalam sejarah manusia? Siapa mereka yang menjadi subjek dan sekaligus menjadi objek utama ilmu pengetahuan dan budaya manusia? Siapa yang membuat kita siap berkubang darah dan menjadi majikan kita sepajang masa? Tuhan? Ternyata bukan, tapi rakyat.

Dalam Altar demokrasi, rakyat adalah mahluk yang sangat di tinggikan derajatnya, tempat dimana kebenaran berdomisili dan diproduksi. Tempat dimana “Tuhan diwakilkan”. Begitulah kira-kira makna dari kata demokrasi, satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita; kata tersebut, kita sering degar dimana-mana, baik di jalanan, warung kopi dan terlebih lagi di gedung DPR.
Hadiah terbesar yang diberikan oleh bangsa Yunani kepada dunia ini, mungkin ada dalam satu kata, yaitu demokrasi, yang di dalamnya terdapat kebebasan berbicara, berpendapat, didengar dan menyatakan (kebenaran) diri. Ini adalah merupakan bahagian dari alam mutakhir posmodernis yang kini memberi legalisasi pada semua kebenaran, baik pada level marjinal, lokal dan personal.
Konsep demokrasi pada mulaya diperaktekkan di kota Athena pada zaman Yunani kuno sekitar 500 tahun SM. Dalam perjalanannya, demokrasi tentunya banyak “bergulat” dengan berbagai macam corak kehidupan manusia dan masyarakat yang berbeda-beda, serta demokrasi mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat dan punya sejarah panjang hingga masuk ke dalam sistem Negara modern saat ini. Hampir bisa dipastikan bahwa konsep demokrasi merupakan konsep tertua dan seumur dengan peradaban ummat manusia.
Secara sederhana demokrasi sering dijabarkan sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari makna demokrasi tersebut, kita dapat memahami bahwa sejak dari dulu rakyat telah menjadi perhatian utama dalam sebuah sistem pemerintahan. Dalam konsep demokrasi rakyat adalah objek dan sekaligus sebagai subjek demokrasi; rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah Negara, sampai-sampai ada semboyang yang cukup tenar mengatakan “vox populi vox dey” suara rakyat adalah suara Tuhan, mengebiri suara rakyat sama halnya mengebiri suara Tuhan.
Demokrasi Dan Relasinya Dengan Budaya Lokal
Negara Indonesia adalah Negara yang dibangun diatas landasan kebersamaan yang bersandar pada keanekaragaman etnis, agama dan budaya. Kepiawaian para pendiri Nusantara dalam membaca realitas Indonesia yang pluralis dan multikultur mampu menjadikan keanekaragaman tersebut menjadi satu kesatauan untuk menopang tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tanpa harus menghilangkan karakter dan identitas budaya lokal setempat. Dan dari sinilah pula ditemukan kehebatan Empu Tantular salah seorang philosof Nusantara yang mampu melahirkan satu gagasan brilliyan yang dikenal dengan istilah “bhineka tunggal ika” (berbeda-beda tapi satu)
Gagasan Empu Tantular ini dari masa ke masa mampu mengilhami nalar berpikir para pendiri atau founding father bangsa ini dalam rangka melanjutkan cita-cita luhur kebangsaan dengan mengadopsi demokrasi sebagai sistem kenegaraan Indonesia.
Demokrasi adalah merupakan gagasan yang lahir dan berkembang di Barat dan kemudian menjadi wacana global hingga masuk ke negara kita. Sistem demokrasi telah lama menjadi ajaran dan prilaku kehidupan rakyat Indonesia, namun pola dan prilaku demokrasi yang diperaktekkan di Negara ini tidak sama dengan apa yang ditemukan di Barat.
Menurut Sri Edy Swasono, inti dari demokrasi adalah partisipasi dan emansipasi. Kita harus jeli melihat konsep demokrasi yang berkembang, demokrasi kita berbeda dengan demokrasi Barat meskipun keduanya berdasar pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat Barat berdasar atas liberalisme individualisme atau asas perorangan, sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia berasas pada kebersamaan, membangun mutualisme kolektif, maju bersama, makmur bersama dalam musyawarah mufakat (Sri Edy, 2009)
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Ridwan Lubis, bahwasanya konsep demokrasi khas Indonesia adalah kebersamaan dan kasih sayang terjaling diantara sesama manusia (RidwanLubis, 2009). Tentunya gagasan demokrasi seperti ini adalah merupakan hasil gagasan yang lahir dari prosese dialektika antara tradisi Barat dan budaya lokal nusantara. Sekalipun karakter dan budaya demokrasi diketahui tidak lahir dari rahim NKRI, namun upaya dan semangat para pendiri bangsa ini tidak surut dalam menerjemahkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia agar lebih humanis dan sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia yang tentunya harus terkait dengan tradisi kebangsaan kita.
Jadul Maula, dalam salah satu komentarnya mengatakan bahwa: karakteristik peradaban Indonesia tidak semata-mata lahir dari lokal itu sendiri. Akan tetapi ia lahir dari hasil interaksi dari berbagai macam peradaban dunia. Hal tersebut disebabkan karna Indonesia adalah merupakan area perlintasan peradaban dunia dan juga Indonesia merupakan tempat pertemuan dari berbagai macam peradaban yang ada di dunia, dan dari sini pula kita menemukan kehebatan lokal genius kita dalam membaca peradaban dunia serta mereka mampu merelasikan dengan tradisi dan kultur lokal nusantara (Jadul Maula; 2006)
Demikian pula halnya dengan demokrasi yang merupakan wacana trasnasional, mampu diterjemahkan di negara ini tanpa harus mengebiri nilai-nilai budaya lokal kita. Singkatnya, para pendiri bangsa ini tetap mengambil budaya dari luar tanpa harus tercerabut dari akar kebudayaan lokal kita.
Penerjemahan makna demokrasi juga pernah dilakuka oleh KH. Abdrahmanwahid (Gusdur), menurut beliau bahwasanya demokrasi dalam makna subtansial harus mampu menjiwai kehidupan bangsa Indonesia yang multikultur dan pluralis. Demokrasi subtansial adalah demokrasi yang di dalamnya terbangun musyawarah, keadilan dan kebebasan (Abdurrahman Wahid; 1999)
Budaya lokal Sebagai Penopan Demokrasi
Demokrasi harus sesuai dengan realitas ke Indonesiaan, yang tentunya demokrasi harus lahir dari nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal bangsa Indonesia (Ahmad Suedy; 2009). Budaya lokal beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya adalah penopan tegaknya Negara demokrasi, Negara yang didalamya terbangun rasa kebersamaan, keadilan, musyawarah, dan kebebasan.
Apa yang di ungkapkan oleh Sri Edy dan Ridwan Lubis di atas adalah merupakan pemaknaan nilai-nilai demokrasi yang berlandaskan pada karakter dan nilai lokal budaya kita. Hal tersebut tercermin dalam prilaku kehidupan masyarakat Indonesia yang senantiasa hidup gotong royong. Gotong royong adalah merupakan wujud partisipasi masyarakat Indonesia dan rasa kepedulian mereka diantara sesama tanpa harus melihat derajat dan status ssosial di masyarakat.
Hal yang sama juga perna di ungkapkan oleh Saiful Mujani dalam salah satu bukunya “muslim Demokrat”. Beliau mengatakan bahwa: solidaritas sosial atau persatuan (Civic engagement) dan terbangunya kepercayaan diantara sesama (interpersonal trust) adalah modal utama dalam membangun civil society yang kuat (Saeful Mujani; 2007)
Partisipasi (persatuan) dan kepercayaan diantara sesama adalah merupakan modal utama dalam membangun demokrasi. Indonesia sejak dari dulu mengenal istilah tradisi lisan satau taradsi yang dikenal mempercayai manusia dengan kata-kata, sehingga untuk konteks Indonesia, manusia di nilai dari tutur katanya, karna tutur kata manusia mencermingkan kejujuran dan kepercayaan kita kepadanya.
Dilingkungan pergaulan masyarakat Indonesia yang menjungjung tinggi nilai etika berlaku istilah “saya yang jadi jaminanya”. Dikalangan pengusaha Glodok, Jakarta, utang piutang yang bernilai milliyaran rupiah, konon hanya dituliskan dalam secarik kertas bekas bungkus rokok, dan hal tersebut sudah dapat dipastikan sebagai bukti transaksi yang sah, dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang hanya dengan kata-kata, deal utang piutang sudah terjadi (Andi Suruji. Kompas 12 Desember 2005)
Hal tersebut diatas, bukanlah fenomena baru dalam tradisi kita. Kearifan tradisional kita sejak dari dulu telah mengajarkan nilai kejujuran dan integritas yang sangat tinggi. Misalnya petuah yang mengatakan bahwa untuk binatang yang dipegang adalah tali pengikatnya, sedangkan untuk manusia yang dipegang adalah kata-katanya. Nilai-nilai inilah yang hari ini kabur dalam tata prilaku kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sehingga demokrasi yang menjadi pundamen utama bangsa ini tidak bisa tegak dengan seutuhnya. dan bahkan tidak jarang diantara kita menilai dan mengakimi sistem demokrasi dari sudut pandang keagamaan dan dianggap tidak cocok dengan konteks ke Indonesiaan. Padahal sejak dari dulu, sebelum istilah demokrasi boming di Indonesia, masyarakat kita sudah memperaktekkan prilaku hidup demokratis, seperti musyawarah, keadilan, kejujuran, kebebasan dan kebersamaan diantara sesama.







Konsep Piagam Madinah Dan Bhinneka Tunggal Ika
Oleh: Suaib Amin Prawono

Sejak dahulu Islam dikenal sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan kehadiran Rasululah SAW di Madinah dengan membawa konsep perdamaian dan persaudaraan diantara sesama manusia, konsep tersebut lebih dikenal dengan istilah piagam Madinah. Hingga hari ini, Piagam tersebut masih banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, dan bahkan tidak jarang diantara mereka berkesimpulan bahwa piagam Madinah adalah landasan dan sekaligus sumber kemaslahatan sosial.

Meskipun Nabi Muhammad beserta pengikutnya datang dari kalangan minoritas, bukan berarti, ruang gerak mereka dibatasi oleh masyarakat setempat untuk mendeklarasikan piagam perdamaian, malah mereka diberikan kebebasan untuk mendeklarasikan pesan-pesan kemanusiaan tersebut dan berujung dengan hasil yang memuaskan bagi semua pihak. Demikian pula halnya, dalam jangka waktu yang begitu singkat (beberapa tahun saja) beliau sudah mampu merangkul berbagai macam kelompok. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad juga dinobatkan sebagai pemimpin mereka di Madinah.

Menurut Zuhairi Misrawi, salah satu aspek utama dan terpenting dalam piagam tersebut adalah perubahan status sosial dari pertalian darah (an-nasab) menuju pertalian nilai (ummah) (Zuhairi, Al-Hanif. Edisi 39/26 Februari 2010). Lebih lanjut, Zuhairi Misrawi mengutip pendapat Abdul Husain Sya’ban dalam kitabnya Fiqh At-Tasamuh fi Al-Fikr Al-‘Arabi Al-Islami: Al-tsaqafah wa Al-Dawlah, bahwa piagam Madinah adalah kelanjutan kesepakatan perdamaian yang sudah dilaksanakan di Mekah yang dikenal dengan Hilf Al-Fudhul yang didalamnya berisi tentang penolakan terhadap berbagai macam bentuk penindasan dan kezaliman, (Zuhairi Misrawi 2010)

Kesepakatan tersebut dikeluarkan pada abad ke-6 M atau sekitar tahun 590 an, sedangkan piagam Madinah dideklarasikan sekitar tahun 622 M dan 624 M yang didalamnya menegaskan tentang pentingnya toleransi sebagai landasan utama akan tegaknya perdamaian. Pendeklarasian piagam Madinah tersebut, tidak begitu lama setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Upaya untuk mempersatukan masyarakat yang majemuk bukanlah perkara mudah, karena hal tersebut terkadang terkendala pada persoalan pluralitas yang meliputi etnis, agama, ideologi dan budaya, apalagi masyarakat Arab waktu itu sangat kental dengan persoalan kesukuan.

Namun, kendala tersebut tidaklah membuat Nabi Muhammad patah arang, malah ia terus berusaha keras untuk mewujudkan persatuan ummat manusia, tanpa mempersoalkan latar belakang pluralitas tadi. Dari hasil kerja keras itulah sehingga ia mampu mempersatukan masyarakat Madinah yang waktu itu sangat plural dan melahirkan satu gagasan atau konsep ummatan wahidah yaitu ummat yang satu.

Di sisi lain, Keaneka-ragaman agama dilihat sebagai sebuah kenyataan hidup yang cukup menyatu dengan kehidupan masyarakat Madinah waktu itu. Sehingga, bagi Nabi Muhammad, toleransi agama menjadi sebuah keniscayaan realitas. Toleransi antar ummat beragama harus dibumikan sebagai syarat utama untuk mencapai titik perdamaian dan persatuan ummat.

Olehnya itu, dalam piagam Madinah secara eksplisit menyebutkan, “bahwa orang yahudi dari bani Awf adalah ummat bersama orang-orang mukmin, orang yahudi hendaklah berpegang teguh kepada agama mereka, sebagaimana juga orang muslim berpegang teguh kepada agamanya”.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Muhammad Husain Haikal. Menurutnya, misi utama yang digelar oleh Nabi Muhammad selama berada di Madinah adalah memberikan jaminan utama kepada kelompok-kelompok agama dan suku Arab untuk memeluk agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Karena hanya dengan jalan kebebasanlah tatanan sosial akan menemukan kebajikan dan kemajuan.

Tentunya, Piagam Madinah tidaklah lahir dari ruang yang hampa akan tetapi ia lahir dari proses pergulatan sosial masyarakat madinah waktu itu. Menurut hemat kami, inti dari piagam Madinah adalah perwujudan kedamaian dalam bingkai pluralitas dan multikultural kehidupan. Karena pluralitas dan multikultural adalah sebuah keniscayaan realitas dan hak bagi setiap ummat manusia, sebab kedamaian adalah fitrah kemanusiaan serta dambaan bagi setiap manusia.

Demikian pula halnya dengan persaudaraan, ia adalah ikatan kemanusiaan yang terbangun atas dasar rasa kebersamaan tanpa harus terbebani dengan persolan perbedaan yang ada. Meminjam istilah Syafii Ma’arif “bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan”.

Minoritas
Meskipun Nabi Muhammad beserta pengikutnya datang dari kalangan minoritas bukan berarti masyarakat Madinah akan mendiskriminasikan mereka, akan tetapi kehadirannya malah disambut baik dengan hati yang terbuka dan lapang. Serta membolehkan kepada Rasululah untuk mennyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.

Itulah gambaran sosial masyarakat Madinah, betapa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga, baginya minoritas bukanlah persoalan yang harus disikapi negan nalar negatif akan tetapi harus diakomodasi dengan penuh kebijaksaan.

Piagam Madinah telah menyatuh dalam kehidupan masyarakat madinah dan tentunya, didalamnya tersimpan pelajaran yang begitu berharga tentang sejarah kehidupan masyarakatnya dimana mereka mampu menghargai kaum minoritas yang hadir dalam komunitas mereka.

Meskipun piagam Madinah lahir dari gagasan Muhammad bukan berarti konsef tersebut belaku secara universal untuk semua masyarakat majemuk, piagam madinah harus didialogkan dengan ruang lokalitas dimana ia akan diatualaiasasikan. Hemat kami, visi akan nilai-nilai kemanusiaan yang harus diambil dari konsep piagam Madinah tersebut kemudian diolah dengan karakter dan khasanah kehidupan bangsa Indonesia.

Konteks Indonesia
Di dunia, Indonesia adalah Negara yang dikenal sangat plural, yang tentunya membutuhkan sikap akomodatif dari kalangan mayoritas. Meskipun dalam kenyataannya, budaya dan tradisi lokal kita tersimpan pesan-pesan kedamaian, tapi itu belum maksimal sebab hal itu masih dilihat hanya sebatas formalitas belaka dan belum lagi dengan terabaikan gagasan tersebut akibat penetrasi gagasan yang datang dari luar dan membuat kearifan lokal kita tergeser.

Gagasan tentang perdamaian untuk konteks Indonesia sejak abad ke 14 sudah di ikrarkan dan dideklasikan oleh Emputantular dan kemudian menjadi warisan yang cukup berharga bagi bangsa ini. Sehingga tidak mengherangkan jika persoalan perbedaan dimasa dulu tidak dianggap sebagai masalah, intinya gagasan tentang perbedaan bukanlah perkara baru untuk bangsa ini.