Minggu, 01 November 2009

LAILATUL QADAR DAN MASA DEPAN SOSIAL BANGSA KITA

Telah diketahui bersama, bahwasanya Ramadan adalah merupakan bulan yang paling mulia diantara sekian banyak bulan yang ada, dikarenakan dalam bulan Ramadan ibadah hamba Allah dilipatgandakan pahalanya, didalamnya diturunkan Alqur’an yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia yang ada di bumi ini, serta didalamya pula terwujud interaksi sosial yang membebaskan antara yang kaya dan miskin dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan hidup melalui zakat fitrah. Olehnya itu, Ramadan sering dimaknai sebagai bentuk ibadah yang bergerak pada dua ruang, yaitu ruang transcendental yang sipatnya indivisualistik dan ruang sosial yang ditandai dengan membangun pola hubungan yang humanis diantara sesama umat manusia.
Di sisi lain, keistimewaan bulan Ramadan, karena didalamya terdapat satu malam kemulian, yaitu malam lailatul qadar, malam yang lebih mulia dari pada 1000 bulan, sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an surah al-qadar ayat 3. Lailatul Qadar inilah yang dinanti-nantikan oleh segenap umat Islam di seluruh penjuruh dunia, bahkan mereka rela tidak tidur semalam suntuk hanya untuk beribadah dan menantikan kehadiran malaikat Jibril sebagai pembawa pesan-pesan kemulian lailatul qadar.
Lailatul Qadar yang menurut sebahagian pendapat ulama di sebutkan bahwa, Lailatul Qadar turun di 1/3 akhir bulan Ramadan dan biasanya turun pada malam-malam ganjil, dan pada malam itu jugalah di anjurkan untuk memperbayak ibadah, dzikir, ruku’ dan sujud kepada Allah.
Malikat jibril ditugaskan oleh Allah untuk turun ke Bumi manusia guna menebar salam kedamaian hingga terbit fajar, sebuah pesan kedamaian dan keberkahan bagi hamba Allah yang senantiasa bertaqarrub kepadanya di malam sepertiga terakhir bulan Ramadan. Beruntunglah bagi mereka yang mendapatkan malam keberkahan tersebut.
Sebahagian dari kita masih beranggapan bahwasanya mereka yang eksis beri’tikaf, berdzikir, ruku dan sujud di malam Qadar tersebut adalah mereka yang mendapatkan karunia dan keberkahan Lailatul Qadar. Padahal banyak keterangan dan hadist yang mengatakan bahwasanya malaikat juga datang kepada mereka yang melakukan kerja-kerja sosial di malam Qadar tersebut.
Lailatul Qadar yang hadir di bumi manusia untuk menebar salam keselamatan, tidak hanya diperuntukkan kepada mereka, orang-orang yang memperbanyak dzikir dan ibadah ritual pada malam qadar tersebut, akan tetapi juga kepada mereka yang eksis melakukan ibadah-ibadah sosial, seperti meringankan penderitaan orang lain dari belenggu kemiskinan, membebaskan manusia dari kedzaliman hidup serta orang yang berupaya untuk selalu menciptakan suasana kedamaian dalam kehidupan, mereka-mereka inilah yang juga disalami oleh malaikat yang di utus oleh Tuhan pada malam Qadar tersebut.
Sehubungan dengan itu, menarik kiranya untuk mengutip salah-satu hadist Nabi Muhammad Saw, yang artinya “bahwasanya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah seorang hamba Allah yang di dalammya terdapat Anjing”. Jika hadist ini dikaitkan dengan ritual I’tikaf yang rutin dilakukan oleh seorang hamba Allah pada malam Qadar maka kita akan menemukan makna social yang terkandung dalam ibadah I’tikaf.
Imam Al-Gazali memaknai hadist tersebut secara kontekstual. Beliau berpendapat bahwasanya “Anjing” yang di maksudkan dalam Hadist tersebut bukanlah Anjing dalam pemaknaan secara lahiriah, akan tetapi yang dimaksud adalah karakter kemanusiaan yang bertabiat seperti Anjing, sebagaimana di ketahui bahwasanya tabiat Anjing lebih cenderung kepada keserakahan dan ketamakan. Olehnya itu jika nilai keserakahan masih tertanam dalam hati manusia, maka selama itu pula malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah mereka untuk memberi dan menebar salam keberkahan.
Hemat kami, Hadist tersebut mencoba menggugat fenomena kehidupan umat manusia, khusunya umat Islam yang dihegemoni oleh sifat-sifat keserakahan dan ketamakan yang bisa berakibat pada pola interaksi sosial yang menindas dan mengeksploitasi aset-aset sosial demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Sifat tamak dan serakah adalah merupakan kanker ganas yang mengancam kehidupan kita. Imam Al-Gazali berpesan bahwa : “ketahuilah bahwasanya sumber segala penyakit adalah syahwat perut”, syahwat perutlah yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga dan dengan syahwat perut pula sehingga para koruptor dijebloswkan kedalam penjara. Dengan syahwat perut pulalah keresahan dan kemiskinan sosial terjadi dimana-mana dan bahkan telah mengancam eksistensi kelangsungan hidup bangsa ini.
Sehingga salah satu dari sekian banyak usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan rana kehidupan sosial bangsa ini adalah, Pertama, memperkuat peran serta independesi hukum untuk mengadili semua tindak kejahatan korupsi tanpa pandang bulu. Kedua, kesadaran diri masing-masing untuk mengedalikan diri dan hawa nafsu serta mampu mengikis habis dan membunuh sifat-sifat serakah dan ketamakan yang adad pada diri kita.
Ruang sosial kita telah terkoyak diakibatkan oleh sebuah keserakahan yang di lakoni oleh sekolompok umat manusia yang tidak peduli serta enggan bertanggung jawab akan masa depan bangsa ini. Jika dalam ayat Al-Qadar terdapat ayat yang bermakna “lailatul Qadar lebih mulia dari seribu bulan” maka tidak ada salahnya jika ayat ini kemudian dijadikan sebagai inspirasi kehidupan dalam menata kelangsungan kehidupan sosial Bangsa kita.
Ayat tersebut di maknai sebagai pesan moral serta inspirasi sosial bahwa memperbaiki kehidupan bangsa jauh lebih baik dari pada kita beribadah seribu bulan. Memperbaiki bangsa dalam artian menyelamatkan kehidupan bangsa ini agar terhindar dari kehancuran, kehidupan rakyat yang tidak melarat, dan bahkan bisa di warisi secara utuh oleh ribuan generasi atau lebih di masa-masa yang akan datang. Sudah cukuplah bangsa ini dari tiap masa dan periode kehidupan untuk mewariskan utang yang jumlahnya trilyunan rupiah kepada generasinya, serta kemiskinan dan kemelaratan yang berlapis.
Orang bijak pernah berpesan bahwasanya Negara beserta ruang sosial yang kita tempati hari ini bukanlah milik kita akan tetapi milik generasi kita di masa yang akan datang, Negara dan ruang sosialnya hanyalah sekedar amanat yang di titipkan Tuhan kepada kita dan yang pastinya akan kita wariskan kepada para penerus bangsa ini.
Pada akhirnya, inti dan makna dari Lailatul Qadar adalah pengsucian diri dari segala bentuk kehinaan dan mafsadat (kerusakan). Tuntunan untuk melakukan I’tikaf, ruku, sujud di malam Lailatul Qadar tiada lain adalah semata-mata untuk mensucikan diri kita dari segala bentuk penyakit dunia, seperti keangkuhan, kesombongan, keserakahan dan ketamakan dalam hidup. Hal tersebut menjadi penting untuk kita pahami bersama dikarenakan kesucian diri adalah merupakan modal dasar dalam mentrasformasikan diri dan kehidupan kita dalam dinamika social, karna Pada dasarnya pesan-pesan moral agama tiada lain adalah untuk kepentingan umat manusia bukan kepentingan Tuhan, Wallahul A’lam

DAMPAK GLOBALISASI BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA Oleh: Suaib Amin Prawono

Globalisasi adalah sebuah penomena yang akhir-akhir ini banyak menjadi perbincangan dalam ruang publik, baik dari kalangan intelektual kampus, budayawan, ahli budaya, agamawan, akademisi kampus, aktifis social, politisi, rakyat, pengamat ekonomi dst. Hampir segala lini disiplin ilmu pengetahuan terlibat dalam membincangkan penomena globalisasi. Walaupun sudut pandang atau landasan pacu mereka berbeda dalam mengamati globalisasi, namun titik atau letak perasaan shock (kaget) hampir dialami oleh semua lini disiplin ilmu dan kehidupan mereka.
Globalisasi, meminjam istilah Nasasruddin Umar mengakibatkan terjadinya shock disegala lini kehidupan Manusia moderen, mulai dari schok teologi (baca: agama) shock ekonomi, politik, cultural, shock people (rakyat) dan tehnologikal. Untuk Negara kita (baca: Indonesia) shock disegala lini telah terjadi dimana-mana mulai dari sabang Sampai Merauke, khususnya schock kehidupan “perut” rakyat Indonesia, yang tidak perna luput dari amantan kita secara ekonomi.
Dalam membaca arus gerak globalisasi, pembacaan ekonomi menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan oleh realitas kemanusiaan masayarakat Indonesia saat ini. Hal ini dikarenakan manusia adalah mahluk yang bergantung pada materi (homo economicus) yang tanpa dengan modal materi (ekonomi) maka mustahil bagi kita untuk hidup sejahterah, apalagi pada saat sekarang ini dimana persaingan hidup yang sangat ketat, dan banyak didominasi oleh peran individu dalam tatanan kehidupan sosial kita yang berujung pada wilayah privatisasi.
Globalisasi ekonomi yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan dua asumsi, antara “berkah dan kutukan”, sebagaiman pembacaan globalisasi yang dikutip dari Bernhard Kieser oleh Trisno S. Susanto :
“di zaman global, kita dipaksa belajar untuk mampu menghadapi sauatu dunia yang tidak lagi monolit, herarkis, dan birokratis, tetapi suatu dunia yang perkembangannya bergerak dengan cepat, yang trasaparan, dan fleksibel, dunia telah memasuki pase baru, dimana masing-masing orang harus memikul tanggung jawab akan hidupnya sendiri, ia harus menaklukkan dan menguasai tubuhnya sendiri supaya dapat bertahan dan berhasil dalam dunia yang diwarnai oleh konpetisi yang sangat ketat. Sementara itu banyak orang yang secara Fisik, biologis, dan intelektual tidak mampu, dan secara rohani tidak sanggup menyusuiakan diri ,ini akan segera mendapati bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak dibutuhkan”.
Kutipan panjang dari tulisan Trisno diatas semakin memperjelas dampak globalisasi pada pola kehidupan rakyat yang berbangding lurus dengan realitas yang terjadi di Negara kita saat ini, seperti busung lapar, kemiskinan, konfilik agama, suku dan konflik politik, yang tidak lepas dari pengaruh kontalasi ekonomi global atau lebih dikenal dengan istilah kapilisme global.
Pegertian Globalisasi
Veri Verdiansa, dalam tulisanya Globalisasi Dan Teologi Pembebasan mengatakan bahwa: Globalisasi adalah sebuah konsef dengan kata dasar The globe (Inggris) atau lamonde (Perancis), yang berarti bumi, dunia ini. Maka globalisasi atau globalization (Inggris) mondialisaton (Perancis) secara netral bahasawi dapat didepenisikan sebagai proses menjadikan semuanya satu bumi, satu dunia (Verdiansa, 2005: hlm, 86) namun perlu untuk ditelaah lebih jauh, selain dari sudut pandang bahasa bahwa globalisasi sebagai sebuah konsef juga di cetuskan oleh berbagai macam tatanan lain yang saling terkait, baik dari sudut ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, tehnologi dan budaya.
George Soros (ekonom) dalam mendepenisikan globalisasi mengatakan bahwa: globalisasi adalah system capital global yang mana dicirikan atau dimaknai bukan hanya dengan bergulirnya pasar bebas akan tetapi lebhi khusus bergeraknya modal, yang mengakibatkan lahirnya dua asumsi yaitu negative dan positip (berkah atau kutukan)
Negativ dan positif dalam makna globalisasi menurut hemat kami, adalah ibarat dua sisi pisau bermata dua yang mengakibatkan dampak buruk (negatif) bagi kehidupan Negara kita seperti lahirnya nilai-nilai ekonomi khususnya Faham ekonomi yang bersipat liberal dan Neo liberal yang sering dimaknai sebagai sebuah faham yang mengacu pada system ekonomi politik yang “mengurangi” untuk tidak mengatakan menghilangkan campur tangan pemerintah dalam system ekonomi domestik, mengikuti faham pasar bebas akan mengakibatkan terjadinya privatisasi sumbu-sumbu ekonomi rakyat yang tentunya akan berbanding lurus dengan meningkatnya angka kemiskinan dan pengaguran di Negara ini.
Kemudian sisi positif dari globalisasi dapat digambarkan dengan adanya kemajuan disegala lini khususnya dalam bidang komunikasi dan trasfortasi.
Dari dua pengertian gelobalisasi diatas paling tidak kita sudah mendapatkan entri poin dalam mencoba memahami dan mengekplorasi globalisasi terutama globalisasi ekonomi yang melahikan system ekonomi neo liberalisme di Negara kita.
Dalam konteks ini, paradigma ekonomi global menjadi penting untuk kita pahami sebab ini terkait dengan penomena perekonomian yang melanda bangsa ini yang mengakibatkan terjadinya ketergantungan ekonomi kepada Negara-negara asing
Paradigma Word System
Selama ini kita membaca perubahan-perubahan khususnya perubahan ekonomi yang terjadi dinegara kita semata-mata terjadi sebagai dinamika internal yang terputus dari perubahan-peubahan global, dan bahkan setiap perbincangan yang mengarah pada skenario global untuk perubahan di Indonesia dianggap sebagai sebuah pemikirang konsfiratif yang tidak ilmiah, tidak jernih dan menimbulkan permusuhan di masyarakat, dan bahkan ironisnya versi sejarah Indonesia tidak pernah berani mengungkap keterlibatan pihak-pihak asing dalam pelbagai pergolakan dan persoalan ekonomi di Negara ini selama dekade awal kemerdekaan RI. Pendek kata, menurut herianto, sejarah Indonesia adalah sejarah menipulatif (Heri Herianto Azumi, 2005. hlm 29)
Ungkapan Heri, diatas hanya sekedar mengingatkan kepada kita bahwasanya perubahan, khususnya perubahan ekonomi tidak pernah lepas dari kontruksi global, baik kontruksi politik global, budaya dan tehnologi. Sebab, menurut Heri membaca perubahan di Indonesia tanpa melibatkan pembacaan konteks global akan menuai kegagalan, gagal dalam artian kita hanya ikut menikmati keramaian sebuah pasar malam tapi tidak mendapatkan apa-apa dari keramaian tersebut selain hanya menjadi penonton yang harus membayar harga tiket, padahal kita menontong dalam gedung pertunjukan kita sendiri.(Azumi, 2005. hlm 29)
Globalisasi dan free trade, yang selama ini banyak mewarnai ruang diskusi kita hanya berorientasi pada pembenaran masuknya modal asing kedalam Negara kita tanpa menekankan atauran-atauran yang ketat, ini diakibatkan karana kita gagal dalam mengeja Negara ini sebagai bahagian dari panggung globalisasi.
Oleh karena itu, kita harus melihat Indonesia dalam gambar yang lebih besar lagi yaitu dunia, dimana kita melihat Indonesia sebagai bahagian dari system dunia, dengan mengenali relasinya tentang apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa oleh system tersebut untuk beroperasi.
Adalah Immanuel Wellerstein bersama dengan teman-temannya memperkanalkan sebuah konsef system dunia sebagai alat baca, menurutnya, dalam pandangan Word-sistemizers dunia ini terbagi dalam dua wilayah kerja (international divison of labor) yaitu “Core” dan “Periphery” dan diantara keduanya terdapat wilayah teransisi yang biasa dikenal dengan wilayah penyangga (semi periphery)
Periphery adalah Negara pingiran (marginal), Negara yang hanya bertugas sebagi suplayer bahan baku Negara untuk kepentingan Negara-negara asing. Sedangkan Core adalah inti dan penyangga sirkulasi ekonomi politik mereka (Negara asing)
Gambaran tentang peta relasi global yang digambarkan oleh Immanuel Wellerstein, semakin jelas dan nampak terjadi dinegara kita dan telah banyak mengorogoti system perokonomian bangsa ini, akhinya kelumpuan ekonomi bangsa ini segara akan terjadi jika tidak ada antisipasi yang konkrit untuk itu.
Globalisasi yang berpijak pada paham liberalisme yang tiada lain berorientasi pada penyingkiran segenap rintangan yang dapat menghantam lajunya pasar bebas
Pasar bebas (free trade market) yang biasa juga dikenal dengan istilah Neo liberalisme yaitu paham yang mengacu pada ekonomi politik, akibat dari neolibaralisme mengakibatkan sumbu-sumbu ekonomi Indonesia dikeruk oleh kapitalisme global, contohnya Freeport di Papua, Exxon di cepu Jawa Tengah dan di Natuna Riau
Gerak kapitalisme global dinegara kita, sebagaimana yang digambarkan oleh Jamaluddin Faisal Hasim, Bahwasanya gerakan ini adalah gerakan yang bisa ditandai dengan dua hal :
Pertama: Multi Lateralisme, yang orientasinya mengara pada penguasaan badan-badang pemerintah yang merupakan ekspansi dari gerakan eksploitasi kapitalisme global (Bank Dunia, WTO dan IMF) yang ketiganya adalah merupakan kepentingan Negara maju yaitu Amerika serikat, Canada, Perancis, Italia dan Jepang .
Kedua: Trasnasionalisasi. Menguatnya monopoli dan konsentrasi modal serta kekuasaan ekonomi kepada kepentingan korporasi dunia, posisi Negara kita dalam intrumen ini mengakibatkan perangkat kenegaraan kita seperti hukum, polisi, militer diarahkan untuk melindungi hak kepemilikan kelas penguasa dan control terhadap ekonomi, mengakibatkan pihak kekuasaan (politik) tidak mampu memperthankan kekuasaanya tanpa dengan bantuan ekonomi koorporasi.(Hasim, 2005, hlm 240)
Dampak Globalisasi Terhadap Perekonomian Indonesia
Globalisasi dalam menjalangkan gerakanya disponsori oleh :
Pertama ; Komunikasi, dimana dalam hal ini tidak mengandung “keterbatasan” ruang dan waktu seperti yang ada pada tehnologi moderen. Kedua Corporation, hal ini telah berhasi membagun kerja sama di Negara kita, khusunya pemerintahan sehinga terjadilah apa yang disebut sebagai privatisasi. Ketiga; Kapital yaitu perputaran modal atau modal menjadi penentu gerak lini kehidupan bangsa khususnya dibidang politik (lihatlah misalnya kampeye politik yang membutuhkan dana mulai dari milliaran hingga trilliunan) keempat; Consumer terciptanya tatanan masayarakat, yang dari sudut pangdang kebudayaan disebut sebagai masyarakat “konsumeristik”, bukan menjadi masyarakat yang produktif dan kereatif.
Keempat gambaran diatas adalah merupakan perangkat wajib bagi globalisasi dalam mengjalangkan operasi pada dunia ketiga khususnya operasi ekonomi.
Globalisasi yang ditandai dengan pesatnya laju tehnologi membuat Negara-negara miskin (tehnologi) termasuk Indonesia menjadi tergantung kepada Negara asing, imbas dari dari globalisasi ekonomi ini khususnya dalam bidang tehnologi membuat bangsa ini bergantung pada Negara adi kuasa yang yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat sebagai pemilik “tunggal ” tehnologi canggih dan bahkan ini sangat memberi penguruh kepada roda perekonomian Negara kita, sebab tidak mungkin suatu Negara dapat maju secara ekonomi tanpa di topan oleh tehnologi canggih, sehingga berdapak pada lahirnya faksionalisasi (suntikan) modal dari Negara asing, untuk kepemelikan tehnologi tersebut dalam melengkapi urusan infra struktur Negara. akhirnya konputer, sofwere dan alat-alat pesawat terbang semuanya bersal dari Amerika Serikat. Sehingga secara ekonomi dan tehnologi Amerika kemudian menjadi tumpuan Negara miskin khususnya Indonesia.
Hartono Wingjowito mengatakankan, bahwasanya ekonomi Amerika lebih didominasi oleh industri perdagangan, oleh karenaya, tehnologi senjata menjadi prioritas utama dalam perdagangan mereka sebagi sumber devisa negarnya, dan fatalnya ini berakibat pada terciptanya konflik dan ajang bisnis senjata, lihatlah apa yang terjadi di irak, iran afganistan dll.
Dampak globalisasi ekonomi atau istilah krennya dikenal dengan neoliberal telah menjebak Negara-negara miskin khususnya Indonesia dan mengakibatkan Negara ini hanya sebagai perangkat core untuk kemajuan bangsa-bangsa corporasi.
Globalisasi neoliberal yang memperoleh bentuk konkrit dalam lima paket yang senantiasa didegung-dengunkan yaitu ;
(1)liberalisasi pasar seluas-luasnya bagi gerak modal, barang dan jasa. (2) memotong pengeluaran public dalam pelayanan social, seperti bahan bakar miyak dst (3) deregulasi untuk mengurangi semaksimal mungkin campur tangan pemerintah (4) privatisasi badang-badang usaha milik negara untukl demi alas an efesiensi, seperti industri strategis, jalan raya, listrik air minum dll (5) menghapus barang-barang pablik (public goods) atau komunitas dan mengatikanya dengan tanggung jawab kepemilikan individu.

Maka dari itu, dampak yang ditimbulakan dari gerakan tersebut dalah: ketimpangan sosial, kemiskinan rakyat, pengurangan upah buru, pengurangan perbelanjaan pablik dan deregulasi kerja.
Keluar Dari Cengraman Kapitalisme Global
Dari uraian singkat diatas, telah membuahkan gambaran yang sangat jelas kepada kita bahwasanya kapitalisme global adalah semacam sindrom atau mungkin monter ganas yang bakal bisa melumat habis kekayaan Negara jika kita lalai akan gerakanya. maka dari itu mencari solusi untuk Negara kita menjadi penting.
Fajroel Rahman, salah seorang aktivis Negara demokrasi dan kesejahteraan mengatakan bahwa, penting untuk mengeluarkan bangsa ini dari cengraman kapitalisme global. Fajroel dalam komentarnya memberikan dua solusi yaitu:
Pertama : Kita harus mampu melakukan renegosiasi dengan kaum kapitalis mengenai kepemilikan atau asset-aset Negara, dalam artian mengaktifkan perang fungsi Negara sebagai pengayom rakyat demi untuk membangun kesejateraannya.
Kedua : merevitalisasi kembali konsef Bung Hatta tengtang pembagunan koperasi sebagai sumbu utama perekonomian rakyat, yang dalam arti lainya dikenal dengan istilah pembangunan ekonomi kerakyatan yang emansipatoris.
Dari dua solusi yang ditawarkan oleh Fajroel Rahman diatas menurut hemat kami masih minim, masih dibutuhkan tambahan solusi, paling tidak tambahan solusi bisa disebutkan sebagai berikut:
Pertama : penguatan Civil. Penguatan civil dalam artian menyadarkan pemikiran (membagun kesadaran realistic) mereka akan sebuah penonomena ekonomi bangsa yang tidak lepas dari kontalasi politik global.
Kedua : Persatuan koletif yang bukan atas landasan bingkai diskriminatif, yang diharapkan akan melahirkan cara pangdang kolektif dan agenda kolektif sebagi bentuk gerakan antisipasi globalisasi ekonomi liberal
Ketiga : menguatkan Hukum atau aturan kenegaraan guna menciptakan aturan yang ketat bagi pengusaha asing dan mengoptimalkan pemberantasan korupsi di Negara ini mulai dari korupsi milliaran sampai trilliyunan.

RAMADHAN DAN WAJAH BANGSA KITA By: Suaib Prawono

Tak terasa kita telah berada di bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh dengan kemuliaan, keberkahan, serta bulan “penggelembengan” mental bagi segenap ummat Islam, guna meraih predikat sebagai manusia yang paripurna (insanun kamil) yang tentunya dengan landasan iman dan ketaqwaan, sebagaimana tujuan dan diwajibkan ibadah puasa itu sendiri.
Di sisi lain bulan Ramadhan juga deikenal sebagai bulan pendidikan (syahru tarbiyah) dan bulan latihan, di mana ummat Islam dalam bulan ini dilatih dan dididik, baik secara mental maupun fisik untuk mampu mengendalikan emosi dan nafsu selama sebulan penuh, yang tiada lain merupakan modal utama bagi kita semua untuk mengarungi bulan berikutnya (pasca Ramadhan)
Oleh karena itu, dalam bulan suci ramadhan, kita dilatih dan diajari untuk bersikap dan berprilaku jujur, disiplin, punya rasa solidaritas sosial diantara sesama manusia serta mampu membangun kepribadian diri menjadi manusia yang paripurna sebagai modal utama dalam mengarungi kehidupan dunia ini dan terlebih lagi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, dalam wajah lain, nilai-nilai Ramadhan tersebut belum sepenuhnya teraktualisasi dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Justru bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang kurang disiplin, tidak jujur, dan tingkat kepedulian sosial yang sangat minim. Sehingga kesenjangan sosial semakin menganga. Kelaparan dan kemiskinan, terjadi dimana-mana. Ironisnya, para elit bangsa ini sibuk mempertontonkan kemewahan mereka di tengah-tengah kemelaratan hidup yang melanda kehidupan bangsa ini.
Bangsa Religius
Tidak diragukan lagi bahwasanya Negara Indonesia adalah Negara yang penduduknya mayoritas ummat Islam dan terbesar di dunia, juga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius atau sholeh. Namun hal tersebut tidak bisa memberi dampak positif terhadap kehidupan bangsa. Justru di balik kebesaran dan kereligiusan tersebut tersimpan kehidupan yang paradoks.
Memang secara lahiriah bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Tidak ada bangsa lain punya rumah ibadah yang lebih dari mesjid seperti mushollah, surau dan langgar yang sifatnya formal dan non-formal sekaligus ramai pengunjung kecuali di Negeri ini. Akan tetapi pada saat yang sama, bangsa ini juga dikenal sebagai bangsa yang terkorup dan paling culas di dunia, bangsa yang cinta akan kemewahan dan prestyse kehidupan, namun miskin prestasi
Dan juga di Negara ini paling banyak orang yang berbangga dengan gelar atau title akademis yang berderet dan bertumpuk (Drs, MA, Mhum, MM, Prof, Dr, dst ) namun dengan gelar akademisi tersebut, hanyalah sekedar gelar, dikarenakan miskin prestasi serta tidak mampu menyelesaikan problema sosial bangsa ini. Parahnya, justru orang tersebutlah yang paling banyak korupsi di Negara ini. Benarlah kiranya ungkapan yang mengatakan bahwa “krisis yang terjadi dalam kehidupan bangsa ini, bukan disebabkan oleh orang-orang bodoh akan tetapi disebabkan oleh orang-orang cerdas”.
Pertanyaannya kemudian di mana nilai-nilai religius Ramadhan bangsa ini? Yang konon katanya akan membentuk manusia menjadi orang yang beriman dan bertaqwa? Dan apalah gunanya kita mejalankan ibadah Ramadhan setiap tahun, namun prilaku keseharian kita bukanlah cerminan dari doktrin ibadah Ramadhan itu sendiri.
Ritual Formalistik
Ummat Islam di Indonesia telah puluhan tahun melaksanakan ibadah puasa, dan telah beribu-ribu kali telinga ummat Islam di Negeri ini mendengar wejangan atau ceramah Ramadhan dari Ustad dan para Da’I, namun hal tersebut tidaklah sama sekali membawa dampak positif terhadap kehidupan bangsa ini. Justru sebaliknya, keserakahan, kebohongan, penindasan, tindak kriminal dan seabrek persoalan lainnya semakin meningkat setiap tahunnya.
Menurut Hamdan Johannis, fenomena ini terjadi dikarenakan ibadah Ramadhan hanya dimaknai sebagai ritual yang sifatnya mekanistik yang mengesampingkan nilai-nilai substansi yang terkandung dalam ibadah Ramadhan, seperti kejujuran, kedisiplinan, dan rasa solidaritas sosial.
Ritual Ramadhan di mata sebahagian ummat Islam hanyalah sekedar ritual formalistik, sekedar mengugurkan kewajiban tahunan. Kita telah merasa lega ketika ritual tahunan tersebut telah selesai kita tunaikan, setelah itu sikap apatis pun seolah menjadi penyakit tahunan yang datang setiap tahunnya setelah Ramadhan meninggalkan kita.
Dampak dari hilangnya serta bergesernya nilai-nilai substansi Ramadhan dalam dinamika kehidupan kita telah menjalar ke dalam prilaku dan sistem kenegaraan kita, sehingga prilaku dan sistem yang terjadi di Negara ini adalah prilaku culas, kurang disiplin serta korupsi yang tidak terbendung. Akhirnya, wajah bangsa kita yang dulunya diprediksi sebagai Negara yang akan maju dalam memimpin peradaban dunia, berobah menjadi bangsa yang bermental bebal, culas, serakah dan tertinggal. Inilah potret bangsa kita saat ini ….!!!
Perubahan Bangsa
Ramadhan bukanlah sekedar ibadah formalitas yang sifatnya individualistik, akan tetapi lebih dari pada itu. Dalam ibadah Ramadhan terkandung pesan-pesan luhur untuk kemanusiaan dan kehidupan berbangsa. Iman dan taqwa yang merupakan doktrin puasa haruslah senantiasa membumi dan membekas dalam keseharian kita, sebab perubahan bangsa ke arah yang lebih baik hanya bisa diharapkan lahir dari orang-orang yang punya mental iman dan ketaqwaan yang mantap. Tanpa itu, perubahan akan tetap terjadi, akan tetapi perubahan yang mengarah kepada kehancuran bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai substansi yang terkandung dalam ibadah Ramadhan menjadi keniscayaan kepada kita semua ummat Islam untuk senantiasa kita aktualisasikan, apalagi di tengah-tengah kehidupan bangsa kita yang carut-marut sekarang ini.
Saat ini, bangsa kita dalam keadaan kritis, akibat dari merajalelahnya keserakahan, kebiadaban, penyelewengan kekuasaan serta lunturnya solidaritas sosial di antara sesama anak bangsa. Maka dari itu, dibutuhkan sosok pemimpin atau pembaharu yang mampu untuk menyelamatkan kehidupan bangsa ini dari kehancuran.
Sosok pemimpin atau pembaharu yang diharapkan bukan hanya sekedar seorang yang profesional dalam hal teori. Akan tetapi, sosok pembaharu yang diharapkan adalah orang yang di samping punya konsep yang jelas, juga siap untuk bekerja keras, disiplin serta punya mental spritual yang mantap.
Pada akhirnya, bulan Ramadhan sekarang ini adalah bulan muhasabah atau bulan introspeksi diri untuk kita semua guna mempertebal keimanan dan ketakwaan kita kepada Sang Khaliq, sebab seabrek persoalan yang terjadi di Negara ini dikarenakan karena lemahnya keimanan dan ketaqwaan kita kepada Sang Pencipta alam semesta, sehingga kitapun tidak pernah merasa takut dan merasa berdosa akan perbuatan kita. Semoga Ramadhan kali ini membawa berkah kepada kita semua, serta mampu menerangi kehidupan bangsa kita menuju bangsa yang bermartabat dan tercerahkan. Wallahu A’lam bissawab

MENGUJI KETANGGUHAN IMAN DITENGAH PROBLEMA KEMANUSIAAN
Iman adalah merupakan pondasi bagi setiap agama dan demikian pula halnya dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan ummat manusia yang semestinya harus dijawab oleh semua agama yang notabene menjadikan iman sebagai rujukan utama dalam menata dan menjawab sistem kehidupan manusia.
Dalam agama, Iman juga sering dipahami sebagai doktrin yang bersipat mutlak adanya, dengan iman manusia akan selamat baik di Dunia maupun akhirat. Iman adalah cahaya kehidupan, iman adalah harga mati yang senantiasa harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Masihkah iman diperlukan? Atau masihkah agama dibutuhkan dalam dunia modern sekarang ini? petanyaan ini hadir dalam ruang kemajuan tehnologi dan ilmu sains yang semakin pesat, yang juga telah berefek pada revolusi kehidupan manusia yang semakin cepat, serta demikian pula halnya dengan kehadiran tehnologi tersebut, ruang bathin dan ruang sakralitas kehidupan manusia tidak lagi menjadi penting, atau mungkin dianggap sebagai sesuatu yang sipatnya tahayyul, tidak rasional dan ketinggalan zaman.
Namun pada ruang lain, iman yang merupakan pondasi serta doktrin bagi setiap agama ternyata tidak sunyi dari kritikan. Menurut Sam Haris iman tidak pernah memberikan bukti nyata dalam menyelesaikan pelbagai persoalan sosial, akan tetapi iman telah menjadi penyebab kekisruhan sosial seperti perang, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Menurut Sam Haris, tidak ada bukti nyata bahwasanya iman berhasil menghentikan perang, narkotika, kerusakan lingkungan dst, justru sebaliknya atas nama iman orang saling membunuh, menjadi salah satau penyebab terjadinya perang dan bunuh diri. Dan juga tidak ada bukti nyata bahwasanya penyebab bom bunuh diri adalah merupakan efek dari kemiskinan, akan tetapi ia adalah pengaruh iman, oleh karenaya, tidak mengherangkan jika Haris menganjurkan untuk menigalkan iman menuju konsef pemahaman diri melalui meditasi.
Kritikan Sam Haris ini jika dipahami secara simbolik maka bisa melahirkan “kecurigaan” yang berlebihan dan dianggap sebagai gugatan terhadap agama dan juga bisa jadi dianggap sebagai pelecehan terhadap agama itu sendiri.
Hemat kami, Konsef keimanan, yang oleh sebagaian kalangan pemikir menjadi objek kritikan dikarenkan problema yang di timbulkan oleh “keimanan” manusia bersebrangan dengan esensi kehidupan manusia itu sendiri seperti perdamaian, penindasan dan keselamatan hidup. Iman telah menjadi “malapetaka” baru dalam kehidupan ummat manusia, Alih-alih dengan iman kemaslahatan dan kedamaian hidup semakin tercerahkan, tapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru mala semakin “beriman” seseorang dunia sosial semakin mencekam. Hal ini juga di karenakan karna konsef keimanan hanyalah sekedar buaian para pemuka agama yang berujung pada surga masa depan, dan melupakan pijakan realitas diamana iman itu berada dan dibangun.
Oleh karenanya merumuskan konsef keimanan ditengan kehidupan ummat manusia menjadi sebuah keniscayaan. Tolak ukur akan kemantapan iman itu di tentukan oleh realitasnya sendiri. Singkatnya, biarkan realitas menjadi penguji dan sekaligus menjadi saksi sejarah keimanan seseorang.
Tolak Ukur Keimanan
Ketika realitas menjadi tolak ukur dari keimanan seseorang, maka sudah pasti pijakan keimanan adalah realitas itu sendiri. Dalam Islam, kualitas keimanan seorang muslim tidaklah di ukur dari sejaumana manusia mengabdikan diri kepada Allah saja, akan tetapi, lebih dari pada itu, sejauhmana ummat muslim mampu mengimplementisikan nilai-nilia keimanan dalam realitas kehidupan keseharian ummat manusia.
Atas dasar pijakan itupulahlah yang menjadi penyebab lahirnya gagasan tentang teologi pembebasan di Amerika Latin yang di gagas oleh Gustav Guiterez, ia lahir dari ruang keagamaan Kristen yang diprakarsai oleh para fastor yang pro terhadap realitas kehidupan ummat manusia yang tersengsarakan. Mereka menghadirkan dan menerjemahkan nilai-nilai keagamaan (iman) dalam kehidupan nyata, guna membebaskan ummat manusia dari berbagai macam belenggu kehidupan dan kemelaratan hidup.
Bagi mereka, iman dalam agama tidak hanya sekedar untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan yang sudah teguh di atas singgasanaya melaui dzikir, pujian dan doa. Akan tetapi mereka mencoba mentrasformasikan pesan-pesan teologis dalam ranah kehidupan sosial. Oleh karenya, tidak ada gunanya mengagungkan Tuhan di tengah-tengah kemelaratan hidup ummat manusia, sama dengan tidak bergunanya pujian terhadap penguasa di tengah-tengah kehidupan rakyat yang melarat, miskin dan bodoh.
Hal yang sama juga perna di sampaikan oleh Rumadi dalam bukunya “Renungan Santri, dari jihad hingga kritik wacana agama” menurut Rumadi, “agidah (iman) tidak untuk di simpan dalam hati saja akan tetapi sejauh mana keimanan yang kita miliki mampu terkoneksi dengan realitas kehidupan sosial ummat manusia” (Rumadi, 2006)
Iman yang Terwariskan
Iman secara bahasa berasal dari akar kata amana, yu’minu, imanan yang berarti aman, damai dan percaya. Almarhum Nucholis Madjid dalam salah satu karyanya Islam dan Doktrin Perdaban, beliau berpendapat, bahwasanya pemaknaan iman yang berarti percaya atau yakin kurang tepat, sebab jika makna tersebut yang menjadi arti iman maka Syaitanpun percaya dan yakin akan adanya Tuhan, justru atas dasar keyakinanlah (baca; percaya) sehingga Syaitan melakukan penghiatan kepada Tuhan.
Olehnya itu, keyakinan yang harus dipahami dan dilakoni oleh manusia tentunya keyakinan yang bukan hanya sebatas percaya atau yakin akan adanya Tuhan akan tetapi juga harus mampu memberi danpak nyata dalam kehidupan sosial manusia. Tentunya keimanan yang mampu menciptakan tatanan kehidupan yang damai, aman, dan amanah untuk sesama ummat manusia. Sehingga secara umum defenisi keimanan menurut Jalaluddin Rakmat adalah: iman adalah enggkau tidak melukai atau menyakiti saudaramu sesama manusia baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Dalam kehidupan keberagamaan kita, sebagian masyarakat masih memahami bahwasanya keimanan yang mereka yakini adalah sesuatu yang terwariskan dari kehidupan masa lalu. Masa lalu dalam artian adalah nilai-nilai atau paham yang diwarisan oleh nenek moyang mereka tanpa ada upaya resev dalam menerimahnya. Ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab sehubungan dengan hal ini, yaitu, apakah kita akan menerima begitu saja warisan orang-orang terdahulu kita atas dasar kesetiaan terhadap pendahulu kita? Apakah dengan mewariskan doktrin keimanan yang muaranya kepada sikap eksklusif akan menjadikan mereka semakin berperadaban? Pertanyaan ini kita harus mampu jawab secara tuntas.
Sejatinya keimanan yang kita warisi dari orang terdahulu kita haruslah di uji cobakan dengan problema sosial masyarakat kita, sebab keimanan sangat ditentukan oleh sejauah mana implementasi nilai-nilai keimanan kita dalam tindak prilaku kehidupan sosial. Mampukah nilai-nilai keimanan kita di perhadapkan pada realitas kemiskinan, penindasan dan konflik sosial?
Problema kemanusiaan seperti kemiskinan, konflik sosial dan ekploitasi kemanusiaan adalah merupakan tindakan yang bersebrangan dengan nilai-nilai agama. Konsep keimana yang ditawarkan oleh setiap agama haruslah mampu berdialektika dengan realitasnya serta mampu melahirkan solusi cerdas guna melahirkan konsep dan paraksis pembebasab untuk segenap ummat manusia,,, semoga saja. Wallahul a’lam.

RAMADHAN DAN EKSISTESI KAUM PEREMPUAN DIMATA PARA DA’I

Beberapa hari lagi ummat Islam di seantero dunia ini akan memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang dinanti-nantikan kehadiranya oleh segenap ummat Islam, bulan yang suci dan mulia di dalamnya terdapat berkah yang berlimpahruah, salah satu keberkahan Ramadhan ialah terdapatnya satu malam di bulan suci Ramadhan lebih mulia dari pada 1000 bulan.

Seiring dengan datangya bulan suci Ramadhan, segenap ummat Islam di seluruh penjuruh dunia sibuk dalam mempersiapkan diri guna menantikan dan menyambut akan datangnya tamu yang agung dan istimewa, yaitu bulan suci Ramadhan. Terlebih lagi kepada mereka, para Imam mesjid dan para Da’i-Da’i Islam. Mereka mempersiapkan diri sejak dini dengan memantapkan hapalan Al-Quran dan konsef ceramah mereka, untuk mereka lantungkan dan komunikasikan pada bulan suci ramadahan nantinya.

Penomena ini telah menjadi rutitinitas tahunan bagi ummat Islam, khususnya kepada mereka yang berprofesi sebagai Da’i dan imam mesjid, sebab mereka inilah yang akan beraktifitas kurang lebih sebulan penuh guna mengisi dan memeriahkan bulan suci Ramadhan. Imam Mesjid, tentu akan menyemangatkan bulan suci Ramadhan dengan lantunan ayat-ayat suci alAl-Quran serta dibarengi dengan suara yang merdu nan indah ditelinga para jama’ah, dengan suara yang merdu dan indah tersebut akan menambah suasana khusuk dalam ruang bathin para jamaah yang melaksanakan ibadah Ramdhan.

Demikian pula dengan para Da’i dan Ustadz meyemarakkan bulan Ramadhan dengan penyampain ceramah atau dakwa Islamiayah melalui mimbar-mimbar Mesjid dan tempat-tempat lainya yang tentunya dengan harapan terbangunnya kesadaran para jama’ah dalam melaksanakan ibadah Ramadhan, dengan ceramah dan dakwa Islamiyah diharapkan akan mengugah kesadaran ummat manusia pada umumnya dan ummat Islam pada khususnya untuk memantapkan iman dan takwa seta bertaqarub kepada Allah swt

Namun pada zona lain, penomena kehadiran bulan suci Ramadhan terkadang tidak membawa keberuntungan bagi semua ummat manusia. Khususnya bagi mereka kaum perempuan yang terkadang “mengeluh”, betapa tidak, mereka harus bersiap-siap secepat mungkin untuk bangun dini hari sebelum terbit fajar guna mempersiapkan santaf sahur bagi segenap keluarga, demikian pula halnya ketika menjelang senja atau buka buka puasa. Kesibukan akan rutinitas kaum perempuan semakin padat jika dirangkaikan dengan rutinitas keseharian mereka, khususnya kepada wanita karier yang berkeluarga,

Kesiapan dalam menyambut bulan suci Ramadhan antara laki-laki dan kaum perempuan tentulah berbedah, beban berat menjelang bulan Ramadhan sangat dirasakan oleh kaum perempuan, oleh karena itu kesiapan pisik, mental, dan emosi mereka harus persiapkan sedini mungkin, berbeda dengan laki-laki yang boleh jadi hanya mempersiapkan modal mental dan pisik saja.

Belum habis rasa penat dan lelah menderah kaum perempuan mereka sudah harus bersiap-siap menuju Mesjid guna menuaikan ibadah rutinitas Ramadhan, dan disinipulah kaum perempuan akan mendapatkan siraman rohani dari pada Da’i-da-I yang isi ceramanya terkadang sangat parkularistik, dan banyak memojokkan kaum perempuan.

Tidak jarang bulan suci Ramadhan sunyi dari sindiran-sindirin yang dialamatkan kepada kaum perempuan. Sebahagian Da’i dan penceramah kita masih suka “memojokkan” kaum perempuan melaui mimbar-mimbar masjid. Gosif, pendengki, pengumbar nafsu, banyak menjadi penghuni neraka, dan seabrek masalah perempuan diungkap dengan vulgar diruang publik Seolah-olah perempuan adalah tempat atau biang kerok dari segala dosa.

Gambaran kaum perempauan diatas tidak jarang menyisahkan ruang keluhan dan keterpinggiran yang datangnya dari kaum hawa, dan mengakibatkan lahirnya stigma miring bahwasanya hanya laki-lakilah yang utuh dalam kehidupan ini, perempuan hanya sebagai makluk kedua yang dihadirkan Tuhan dimuka bumi ini.

Padahal sejatinya bulan ramadhan adalah bulan yang bebas dari cemohan, sindirin apalagi “sumpah serapa”. Kalau kita mau jujur, justru kaum perempauanlah yang paling banyak mendapat pahala dibulan Ramadhan sebab merekalah yang paling gesit dalam bekerja, termasuk bangun diwaktu dini hari guna mempersiapkan santaf sahur bagi keluarga, hal ini dilakukan dikala laki-laki masih terlelap dalam tidurnya, tidak hanya sampai disitu menjelang senja hari mereka sudah harus didapur untuk mempersiapkan buka puasa bagi segenap keluarganya, hampir tidak ada ruang istirahat bagi kaum perempua

Apakah tindakan perempuan tersebut tidak patut untuk kita sanjung? Apalagi bagi mereka yang ihlas dalam bekerja? Tidakkah Islam hadir untuk menyangjung perempaun?. Salah satu dari misi kehadiran agama Islam adalah untuk memuliakan kaum perempaun, hadirnya Islam membawa obor keberkahan bagi kaum hawa, sebab martabat mereka diangkat dan dibebaskan dari belenggu penindasn dan kenistaan hidup serta tindak kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki pada zaman jahiliyah. Maka dari itu tindakan menistakan kaum perempuan baik secara pisik maupun pisikis (melukai perasaan) sama halnya menistakan agama kita sendiri.

Idealnya, Ramadhan haruslah menjadi bulan muhazabah untuk kita semua, jangan sampai bulan yang penuh berkah tersebut membuat orang lain menderita dan mengeluh akibat dari ketidak-adilan kita dalam melihat dan mengurai masalah. Keihlasan adalah puncak ibadah yang tertinggi, sebab hanya dengan keihlasanlah kita akan menemukan karunia dan berkah Allah swt. Semoga.

FARAG FOUDA DAN RUANG DIOLOG PEMIKIRAN ISLAM

Saya sempat terhentak kaget ketika membaca kolom (cacatan pinggir) Goenawan Muhammad di Majallah tempo, 9 maret 2008. Goenawan Muhammad menulis kronologis kematian Farag Fouda. Seorang intelektual kairo yang tewas secara mengenaskan pada tgl 8 juni 1992 di Kairo. Dua orang dengan mengenakan topeng menyerang Foudah dan Fouda seketika itu tewas, anak-anaknya luka parah dan pada waktu itu pula muncul pengakuan dari Jamaah Islamiayah dengan mengatakan “ Ya kami membunuhnya”.
Nalar kritis yang dimiliki oleh faoudah menyebabkan ia mendapat cemohan dan stigma murtad. Stigma murtad yang dialamatkan kepadanya telah mengatarkannya pada pintu kematian, sebahagian kelompok Islam mengatakan bahwa kematian Foudah adalah suatu kewajaran, sebab ia telah murtad dan hukum orang murtad adalah halal darahnya untuk dialirkan (dibunuh)
Sungguh ironis kehidupan Foudah, diusianya 46 tahun ternyata dia harus menghadap Tuhan dan menutup mata untuk selamaya. Usia yang boleh dikata masih cukup “belia” dan berkuwalitas dalam mengekplorasi dan mendinamisasikan pemikiran Islam. Kepergian Foudah meyimpan kenangan pahit dalam belantika pemikiran Islam. Fouda hidup pada zaman pemikiran yang diwarnai dan didominasi oleh pemikiran hegemonik nan tiranik. Sehingga nalar kritisnya harus dibayar mahal dengan nyawanya sendiri. Sungguh ironis kedengaranya. Islam sebagai agama rahmatan lilalamin ternyata “tidak menghargai” pemikiran seperti foudah, bahkan atas nama agama, faudah wajib untuk dibunuh. Benarkah Islam anti pemikiran kritis?
Nalar Kritis Foudah
Lima bulan sebelum Foudah meninggal ia sempat berdebat di pameran buku Kairo, Foudah berdebat di depan peserta, yang konon dihadiri sekitar 30.000 orang. Foudah berdebat degan ulama selevel dengan Muhammad Al-Gasali dalam hal hubungan antar agama dan Negara, politik, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah.
Faudah melakukan kritik tajam terhadap kaum Islamis sebagai mengusung gerekan penegakan syariat Islam waktu itu, gerakan Islamisme berkeinginan untuk mengembalikan peradaban kenabian sebagaimana yang perna terjadi dimasa sahabat nabi pada abad 7 hijriah. Kritik Faudah disini , menurut hemat kami bisa di kategorikan sebagai kritik nalar sejarah kaum Islamis.
Kaum Islamis merindukan priode salaf, suatu zaman keemasan Islam untuk kembali aktual dalam dunia kekiniaan dan mampu menyelesaiakan semua persoalan ummat manusia. Namun, bagi Faudah tidaklah demikian, justru Foudah melihat zaman tersebut sebagai zaman yang biasa-biasa saja dan tidak ada bedanya dengan zaman yang kita alami. Bahkan, lanjut Foudah “tidak ada yang istimewah pada waktu itu” malah ada jejak yang memalukan.
Kritik tajam Foudah ialah saat kejatuhan Khalifah Usman Bin Affan. Khalifah ke tiga yang terpilih setelah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Usman terpilih menjadi khalifah sekitar tahun 644 berdasarkan musyawarah terbatas yang dihadiri lima orang dan Usman hanya sempat memimpin kuarang lebih 12 tahun dan setelah itu ia dibunuh ketika usianya tepat 83 tahun oleh orang Islam sendiri (pemberontak)
Mereka tak hanya membunuh Usman, Menurut sejarawan Al-Thabari jenasanya terpaksa bertahan dua malam. ketika mayatnya disemayamkan jenasahnya tidak di sholati dan bahkan dilarang untuk disholati dan lebih parah lagi jenasahnya diludahi serta persendihannya dipatahkan, Ia dikuburkan di pemakaman yahudi. Bahkan lanjut foudah dalam mengutif Kitab al- Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Sa’ad yang menyebutkan satu data bahwasanya kahlifah itu bukanlah orang yang bebas dari keserakahan. Tatkalah Usman terbunuh ditemukan dalam berangkasnya 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
Inilah sekelumit kritik Foudah terhadap sejarah masa lalu yang nota bene menjadi rujukan utama kaum Islamisme dalam membangun peradaban, tepatnya peradaban Islam. Masa lalu bagi Foudah tidak selamanya Is the best dan aktual untuk terwujud dalam dunia kekinian kita. Justru kita musti kritis untuk melihat masa lalu sebab terkadang masa lalu banyak terekayasa, terlupakan yang kemudian terkonstruksi dalam sejarah tapi sejarah versi kuasa.
Islam dan Inklusifme Pemikiran
Islam adalah agama yang menghargai akal atau nalar. Dalam alquran seringkali didapati perintah untuk berpikir dan merenungkan sesuatu. Namun terkadang akal atau nalar manusia tidak berfungsi ketika ia bersentuhan dengan kekuasaan. Kehadiran kekuasaan dalam medang pemikiran terkadang menjadi eksekutor bagi nalar-nalar kritis, apatahlagi ketika nalar itu mencoba atau mengancam eksistensi kekuasaan.
Terkadang antara nalar dan kekuasaan tidak berjalan beriringan, bahkan ia bermusuhan pada urusan tertentu, kebebasan menalar sebagai hak dan identitas nalar itu sendiri tidak bekerja secara maksimal dalam menemukan titik kebenaran dikarenakan kuasa hegemonik, sebagaimana yang terjadi pada Farag Fouda
Kebebasan adalah landasan utama untuk menemukan titik kebenaran, apabila kebebsan berpikir dibatasi maka sudah barangtentu kebenaran yang temukan juga akan terbatas. Sekalipun, tidak semua kebenaran itu mampu ditemukan dengan akal, tapi paling tidak kita mampu memberikan apresiasi kepada nalar itu sendiri sebagai bahagian dari identitas kesempurnaan manusia dalam menemukan kebenaran.
Islam sebagai agama rahmat akan senantiasa terbuka terhadap pemikiran apapun. Hemat kami, Islam bukanlah agama eksklusif yang senantiasa mengadalkan gerakan eksekusi untuk membumi hanguskan pemikiran-pemikiran kritis, akan tetapi Islam adalah agama diologis yang senantiasa membuka ruang diolog bagi ummat manusia untuk mencari titik temu dan mencairkan kebuntuan diantara sesama.
Tingkat peradaban yang telah dicapai oleh ummat manusia pada hakekatnya lahir dari ruang diolog itu sendiri, yang mengedepankan nilai-nilai humanitas. Sebab hanya ruang diologlah yang mampu menyelesaikan masalah, bukan dengan tindakan refresif yang mengarah pada penghancuran hak-hak ummat manusia, hak kebudayaan, hak politik, ekonomi, dan nalar itu sendiri. singkatnya kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru dengan kekerasan akan melahirkan masalah baru. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabilah dikatakan bahwasnya Islam adalah agama anti kekerasan serta agama yang selalu mengedapankan diolog untuk penyelesaian masalah.